Aku meringkuk dibawah selimut. Masih menangis. Harry sudah pulang dan kami tak jadi pergi kerumah Anne. Ia sempat menangis, namun hatiku terlalu keras saat ini untuk memaafkannya. Bukannya aku tak memaafkannya, hey bahkan aku tidak marah padanya! Aku hanya sedikit kesal. Oke, aku sangat kesal padanya. Ia terdiam setelah aku tak merespon perkataan maafnya. Aku membiarkan ia memelukku, lalu dengan tahu dirinya ia langsung pergi.
Sudah 2 jam sejak kepergiannya, aku bahkan belum mengganti dress yang tadi kupakai. Mengapa foto itu bisa sampai ketangan Harry? Kenapa? Rasanya aku ingin menenggelamkan orang yang mengirim foto itu di genangan air liur Theo. Aku benci orang itu.
Ah sialan, aku lupa kalau Harry pergi tanpa mendengarkan penjelasanku. Ia pasti marah padaku. Biarpun seharusnya aku juga marah padanya. Semua semakin rumit, rasanya aku ingin menghilang saja dari muka bumi ini.
Aku berusaha bangkit dari ranjang dan berjalan kedapur untuk mengambil aspirin dan air putih. Kepalaku agak pusing, mungkin karna terlalu banyak menangis. Aku melewati kaca di lorong kamarku. Keadaanku sangat mengerikan. Mataku bengkak dan rambutku acak-acakkan.
Aku ingin menangis lagi melihat keadaanku sendiri. Sialan, bahkan kau dihancurkan oleh dirimu sendiri, Summer.
Aku berjalan kedapur. Namun langkahku terhenti karna telfon di ruang tamu berbunyi. Dengan malas aku mengangkatnya."Hallo?"
"Summer! Kau dimana? Kenapa kau tak mengangkat telfonku daritadi?"
Suara Niall."Kau baru menelfonku sekali, Niall. Dan aku langsung mengangkatnya."
"Maksudku, aku menelfon ke handphonemu. Kenapa kau di flat? Tidak jadi kerumah Anne? Apa Harry disana?"
Sebisa mungkin aku menjaga suaraku agar tidak terdengar serak. Aku tak mau Niall tahu. Ia pasti akan melarangku berhubungan dengan Harry. Dan jujur aku tidak mau.
"Aku tidak jadi pergi dengan Harry. Ia sudah pulang."
Terdengar suara musik yang cukup keras disana. Ternyata ia benar-benar berpesta.
"Kenapa Harry pulang? Astaga. Aku akan telfon dia untuk kembali keflatmu." Dasar keras kepala.
"Tidak, Niall. Dia ada urusan. Aku tidak tahu apa tapi ia buru-buru pergi. Sungguh, aku tidak apa-apa. Aku berniat untuk tidur sekarang. Kau pulang jam berapa?"
Niall terdiam diujung sana.
"Aku akan kembali secepatnya. Kau tidur saja. Ingat, kunci pintu. Kau harus berhati-hati." Ujarnya. Aku tersenyum.
"Baiklah, kau juga hati-hati. Aku sayang kau, Niall."
"Aku lebih menyayangimu, pudding. Selamat tidur." Balasnya. Lalu sambungan telfon terputus. Aku segera ke dapur dan mengambil aspirin lalu memasukkannya kedalam mulutku. Kuteguk air putih didalam gelas sampai habis. Kepalaku pusing sekali dan badanku sungguh lemas. Dengan sisa tenaga yang kupunya, aku berjalan kembali kekamarku dan mencoba untuk terlelap.
***
Aku mendengar suara pintu kamarku terbuka. Namun lampu kamarku tidak menyala. Dengan berat aku membuka mataku dan melirik ke jam dinding tanpa menggerakkan badanku. Pukul 3 pagi. Kudengar langkah kaki yang mendekat ke ranjangku. Aku tak memiliki tenaga untuk melihat siapa yang datang. Orang itu duduk disisi ranjangku dan mengelus rambutku pelan.
Sekarang aku tahu, ini Niall. Aku berpura-pura tidur untuk tahu apa yang akan dilakukannya disini."Selamat tidur, pudding."
Aku merasakan bibirnya di puncak kepalaku. Setelah itu kudengar langkah kakinya berjalan keluar dan menutup pintu kamarku. Aku tersenyum. Refleks aku bangkit dari tidurku dan menoleh ke arah pintu kamar.
Oh sialan. Niall masih berdiri disana sambil melipat tangannya di dada.
"Got you, little sissy." Ujarnya dengan nada mengejek. Ternyata ia tahu kalau aku berpura-pura tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Forever
Fanfiction[PRIVATED ON SOME CHAPTERS] Apa jadinya kalau dibenci oleh keluarga sendiri? Ayah dan ibu sendiri pun malu memiliki anak sepertinya. Bahkan kakak lelakinya tak mau mengakui dirinya sebagai adik. Selama ini dia bersabar, menunggu tuhan membuka jalan...