Chapter 18

395 46 0
                                    



[ Rumah Harim ]

Suara teriakan terdengar dari ruang tamu rumah Harim. Hani pasrah begitu jari-jari milik Seungwoo dan Jinyoung mengusapkan krim ke wajahnya. Hani kesal. Dia memang tak pernah menang jika main kartu.

"Okeee. Lanjut ya..." teriak Seungwoo mengocok kartu. Di wajahnya belum ada satupun coretan.

"Ce... mm... ppaa...tlah!" kata Jinyoung dengan mulut penuh kacang. Wajah Jinyoung sendiri baru ada satu coretan tepat di hidungnya.

Hanya Hani yang wajahnya penuh dengan coretan, "Aku nggak mau main lagi!" katanya lalu beranjak bangun masuk ke dalam kamar.

"YA! Hani!" sentak Seungwoo.

"Yaa!! Ini nggak seru kalau main berdua aja!" tambah Jinyoung. "Hani! Cepat keluar!"

"Aku ngantuk! Kalian ajak Minhyun-oppa sama si Seungkwan aja!" teriak Hani dari dalam kamarnya.

"Ide bagus..." gumam Seungwoo. Lalu dia dan Jinyoung pun bergegas untuk pindah lokasi. Ke rumah Minhyun tentunya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Lu belum makan satu abad?" celetuk Harim saat Wonwoo dengan lahapnya memakan ramyeon dan burger yang dibelinya. Harim sedang merutuki dirinya. Kenapa dia jadi baik lagi ke Wonwoo?

Wonwoo tak menjawab. Dia terlalu lapar untuk berhenti makan.

"Uhuk!" sampai akhirnya dia tersedak.

"Aigoooo..." celetuk Harim menuangkan minum untuknya.

Wonwoo meminum habis air satu gelas itu. Di saat itulah dia mulai berhenti makan. Sejenak ia menatap Harim yang tak mau melihatnya.

"Lu nggak bisa senyum apa? Jangan pasang wajah yang sama dengan yang lu pasang waktu ngelabrak Soonyoung..."

Dan perkataan Wonwoo barusan berhasil buat Harim menoleh ke dia, "Sekarang lu uda makan kan? Jadi gue mau pulang..."

"Gue antar..."

"Nggak perlu gue bisa sendiri!"

"Ini uda jam 2 subuh!"

Harim melirik jam tangannya. Wonwoo benar. Terlalu subuh untuknya pulang ke daerah rawan kriminal seperti daerah rumahnya. Mau tak mau. Harim pun menerima tawaran Wonwoo.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Besok jam berapa mau ke rumah sakit? Gue jemput..."

Harim melirik Wonwoo yang sedang menyetir di sampingnya. Dia belum mau menjawab. Dia malah memalingkan wajahnya ke jendela mobil. Jalanan sudah sangat sepi.

Perlahan jendela mobil yang ditatap Harim mulai basah. Rintik demi rintik hujan turun, dan siapa sangka akan berubah deras dalam sekejap. Suhu di dalam mobil itu pun bertambah dingin, membuat Harim menyesal tidak membawa cardigan putihnya.

Smile FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang