Duapuluhsatu

701 122 52
                                    

Sandara terbangun diatas kasur dengan Nara memeluknya, ia melirik sekitarnya dan melihat Jiyong yang terlelap ditempatnya semalam tidur. Apakah pria itu yang memindahkannya? Ia melepaskan pelukan Nara dan berjalan kearah pria itu.

Senyumnya tercetak jelas diwajah cantiknya. Pria itu adalah pria idaman bagi seluruh wanita dimuka bumi ini. Ia tak bisa menyangkal bahwa wajah pria yang masih menutup matanya itu memiliki wajah yang tampan dan bahkan terlihat menggemaskan saat tertidur.

Ia mendesah pelan sebelum beranjak untuk menyiapkan keduanya sarapan. Pria itu harus sarapan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumahnya. Ini hari minggu yang artinya mereka memiliki hari yang tenang untuk bersantai. Ia akan menghabiskan hari ini dengan memasak dan membuat kue.

25 menit kemudian sarapan yang ia buat sudah selesai, lengkap dengan jus apel kesukaan gadis itu dan nasi goreng biasa. Lidah anak gadisnya bukan lidah Korean, tapi lidah Western. Entah apa yang salah pada gadis itu hingga suatu hari Nara mengatakan padanya bahwa ia hanya ingin makan makanan Western.

Ia kembali ke kamarnya untuk membangunkan Nara dan Jiyong. Namun saat ia membuka pintu, pemandangan di depan matanya membuat desiran hangat ditubuhnya. Nara berada diatas kasur dengan tawa renyahnya, dan Jiyong yang masih dengan wajah bantalnya tengah menggelitik perut gadis itu.

“Waktunya bangun lazyhead, aku telah menyiapkan sarapan untuk kalian berdua” ucap Dara masih berada di pintu dengan tangan di pinggang gadis itu, “Gosok gigi kalian sebelum ke dapur untuk sarapan. Sikat gigi yang baru ada dilaci kedua” ucap Dara yang dibalas dengan anggukan Jiyong.

Mereka memakan sarapan dengan mendengarkan Nara berceloteh. Ia bahkan lupa akan kejadian semalam yang masih segar diingatan Dara dan Jiyong. Dan dua orang dewasa itu bersyukur Nara telah melupakan kejadian tadi malam.

Nara segera berlari ke ruang TV setelah menyelesaikan makanannya. Jiyong mengambil piring bekasnya yang diambil langsung oleh Dara, “Aku bisa mengurus ini. Kau... bisa menemani Nara atau melakukan hal yang lain” ucap Dara dengan senyumnya.

Jiyong hanya diam di tempatnya dengan manik menatap Dara, gadis itu berdiri membelakanginya. Mengizinkan pria itu untuk memperhatikan dan menelaah sosok wanita hebat yang telah membesarkan gadis kecilnya.

Otak liarnya membayangkan bagaimana jika gadis itu mengandung, mengandung benih cinta dirinya dan gadis itu, mendengar tawa Nara disela suara kicauan spongebob membuatnya berhalusinasi untuk mendengar suara bocah lain yang ia claim sebagai anaknya.

Akankah seindah yang ia bayangkan? Ia kembali fokus pada sosok wanita yang kini membersihkan tangannya di handuk kecil disamping tempat cuci piring. Dan senyumnya tercetak saat bayangan dirinya memeluk tubuh itu dengan hadiah senyuman dan kecupan ringan di pipinya yang diberikan oleh gadis itu.

Ia membayangkan jika ia dapat merasakan hal seperti ini setiap hari. Apakah semua yang ia bayangkan akan menjadi kenyataan. Dan saat gadis itu berbalik, wajah Sandara yang ada dihadapannya, membuat dadanya bergetar.

Jinah tak lagi ada dipikirannya. Jinah dan anaknya tak lagi ada disana untuk ia pikirkan. Dan otaknya kembali berfikir tentang kapan terakhir kali ia memikirkan dua wanita berharganya. Kapan terakhir kali ia menangis akibat merindukan dua wanita berharganya?

“Kau masih diam disitu?” tanya Dara menyadarkan Jiyong dari pikiran liarnya. Menyadarkan Jiyong dari perasaan yang tak terkendali yang hinggap dihatinya.

“Maukah kau pergi bersamaku hari ini?” tanya Jiyong menatap manik Sandara,

Gadis itu terlihat ragu sebelum bertanya, “Kemana?”

“Kita pergi ke pemakaman Jinah. Mendiang istriku” ucap pria itu dengan wajah yang masih sama. Serius.

“Untuk ... apa?” tanya Dara masih tak begitu mengerti mengapa ia harus pergi bersama pria itu.

Jiyong menelan liurnya sebelum beranjak, “Ferimakasih telah merawatku semalam. Aku ... aku akan menjagamu dan Nara. Aku ... maukah kau menghabiskan sisa waktumu bersamaku? Aku tahu ini sangat tak masuk akal tapi, aku ... aku ingin momen seperti ini terus terjadi di sisa hidupku. Kau, Nara dan anak kita” ucap Jiyong.

Dara menatap manik yang sejak tadi menatapnya langsung. Ia merinding saat Jiyong mengucapkan kalimat kita, ia menggigit bibir bawahnya, mengantisipasi untuk hal yang tak ia ketahui.

Canggung.

Hening.

Tak ada suara lain selain suara tawa Nara dan spongebob yang terus berceloteh. Kedua orang dewasa ini berada di dunianya. Jiyong menatap Dara dalam, meyakinkan gadis itu agar mau menerimanya.

“Kau mungkin-“

“Aku mohon, aku tak ingin mencari wanita lain untuk bisa mengisi sisa waktuku. Aku hanya ingin ada kau, Nara dan anak kita. Aku ... mungkin aku belum mencintaimu, dan mungkin aku baru mengagumimu. Tapi, maukah kau menikah denganku?” tanya Jiyong menggenggam tangan wanita itu.

Tangannya dingin, entah akibat air yang baru saja ia gunakan untuk mencuci atau karena gugup yang ia rasakan, “Jiyong, kau-“

“Aku mohon Sandara, aku akan bertanggung jawab untuk keuanganmu dan adikmu, aku akan bertanggung jawab untuk segala urusanmu, aku akan bertanggung jawab untuk nyawamu. Aku ... Aku akan melakukan apapun untuk menjadikanmu istriku” ucap Jiyong,

“Jiyong kau tak mengerti”

“Kau tak mau?” tanya Jiyong dengan alis berkerut, wanita itu bisa melihat kekecewaan yang kentara di manik coklat muda itu.

“Bukan, bukan aku tak mau. Tapi, ini... bukankah ini terlalu cepat? Kau tak mengenal diriku dengan baik” ucap Dara beralasan, ia hanya tak bisa mengerti apa yang terjadi barusan. Semuanya mendadak dan tak masuk akal.

“Aku percaya padamu. Hanya... menikahlah denganku, aku yang akan mengurus semua proses pernikahan kita, eum. Hanya katakan 'ya' dan kita siapkan semuanya” ucap Jiyong bersungguh-sungguh.

Kerutan di keningnya menghilang dengan ekspresi yang tak terbaca, “Apakah karena kau memiliki seorang kekasih?” tanya Jiyong, kerutan itu kembali hadir, tapi di kening Dara. “Apakah kau menolakku karena kau memiliki seorang kekasih, Dara?” tanya Jiyong.

Dara menggeleng, “Bukan seperti itu, aku tak memiliki kekasih. Aku bahkan meminta Daesung untuk menyerah”

“Lalu mengapa kau tak menerimaku? Apa karena aku tak membawa cincin? Apa karena lamaranku ini terlalu mendadak?”

“Ya, ini terlalu mendadak. Aku.. bisakah kita ceritakan kisah kita satu sama lain terlebih dahulu? aku tak mengenal dirimu dan aku yakin kau pun begitu. Aku akan menceritakan semua hal yang ingin kau tahu dan kau akan menceritakan semua tentangmu. Setelah itu kau bisa mengulang semuanya dari awal” ucap Dara diakhiri dengan senyum hangatnya.

“Kalau begitu, maukah kau berkunjung kerumahku? Kau bisa bertanya pada ibuku atau bertanya padaku” ucap Jiyong dengan senyum diwajahnya. Dara menatap pria itu sebelum mengangguk dengan senyum diwajahnya.

“Terimakasih telah mengobati lukaku semalam” ucap Jiyong memeluk tubuh Dara, gadis itu sempat mematung sebelum membalas pelukan Jiyong dan bergumam.

---see you at Chapter 22---

Five Years AgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang