cinta bukan arogansi, di mana saat kamu bilang cinta maka dia harus denganmu. Pahami dulu itu Cinta atau hanya obsesi. ~Dhiya
~ ~ ~ ~ ~
Aku menarik hembuskan nafas berat berkali-kali. Mencoba mengusir rasa gugup yang menyergap sejak Bu Gi (please jangan ditambal 'L') guru seni keluar kelas. Semua murid dikelas sedang sibuk mempersiapkan keperluan mereka untuk ulangan matematika setelah jam pelajaran Bu Gi.
"Dhiy,, Dhiy dipanggil Iyaz tuh."
"hah? Apa? Apaa?" aku tergagap saat Jojo menyenggol lenganku dengan sikunya.
"Itu dippanggil Iyaz," Ulang Jojo, aku melihat kearah tempat duduk Iyaz yang berada dibaris ketiga dari depan di sebrang barisan mejaku. Dia sedang menoleh ke belakang, tepatnya ke arahku.
"Semangat," ucapnya tanpa bersuara, namun bisa kutangkap maknanya.
Aku mengangguk cepat dan mengacungkan jempol ke arahnya tersenyum sumringah. Iyaz balas tersenyum sebelum kembali menghadap ke depan karena Pak Mukhlis baru saja memasuki ruang kelas.
Tanpa banyak basa-basi Pak Mukhlis yang umurnya sudah tidak muda lagi namun memiliki ingatan begitu tajam menyuruh kami mengumpulkan buku matematika kedepan kelas. Diatas meja hanya boleh ada selembar kertas dan bolpen. Denis membagikan kertas berisi soal.
Aku membaca doa dalam hati sebelum mengerjakannya. Suasana kelas begitu tenang dan hening. Pak Mukhlis tak tinggal diam dia berkeliling untuk mengawasi murid-muridnya mengantisipasi praktik kecurangan, alias contek menyontek atau intip mengintip.
Aku sendiri memfokuskan pada soal dihadapanku, beberapa kali aku mendengar decakan kesal dari Jojo. Detik demi detik berlalu sampai akhirnya empat puluh lima menit terlewati. Pak Mukhlis menyuruh Denis mengambil kertas ulangan di masing-masing murid dan mengumpulkannya ke meja guru.
"Selagi saya menilai ulangan, kalian pelajari bab selanjutnya, nanti akan bapak bahas setelah ini selesai." Ujar Pak Mukhlis.
"Iya pak." Jawab serentak seluruh penghuni kelas.
"Yakin dapet delapan nggak Dhiy?" Tanya Jojo dengan suara berbisik.
"Insyaallah," Jawabku sambil terkekeh, walau dalam hati sebenarnya tidak tenang menunggu hasil ulangan.
"Kalau nggak berhasil gagal nonton loh."
"Yee pasti berhasil tauk," jawabku percaya diri. Meyakinkan diriku sendiri kalau hasil ulangannya pasti bagus. Aku pasti bisa nonton bareng sama Iyaz. Membayangkan duduk berdua dengan Iyaz di dalam bioskop, nonton film romantis. Terus dia suapian aku popcorn, duh bahagianya.
"Dhiy, laper kantin yuk?" aku mendongak menatap heran Sifa yang menoleh padaku yang duduk tepat di belakangnya.
"Lo?" tanyaku tak yakin dengan ajakannya. Sifa paling anti pelanggaran ngajakin Dhiyandra ke kantin saat jam pelajaran? Harus masuk rekor muri deh ini.
"Iya, ayok." Katanya meyakinkan. Aku hanya mengangkat bahu seraya berdiri melewati Jojo.Setelah meminta ijin pada Pak Mukhlis dengan alasan mau membeli bolpen , walau awalnya dilarang karena keluar berdua tapi akhirnya aku berhasil meyakinkannya. Kami bejalan menyusuri koridor menuju lantai satu.
"Tumben Fa, bukan Sifa Auliya banget deh ke kantin pas jam pelajaran?"
"Laper. Lagian bentar lagi juga bel," Aku mengernyit bingung. Tidak biasanya Sifa melewatkan pelajaran untuk makan selapar apapun dia. Dia selalu menurut dengan tata tertib yang berlaku di sekolah ini.
"Ya tumbenan banget?"
Sifa nyengir "Gara-gara Bang Marshal nih, gue kebayang terus sama dia sampai lupa makan, saking senengnya dapet balesan chat dari dia." Aku ternganga mendengarnya kurang paham dengan maksudnya. Atau otakku yang lamban sehabis berperang dengan angka-angka dari Pak Mukhlis?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhiya
Teen FictionDhiya menyukai Diyaz. Hampir tiga tahun lamanya dia mencintai cowok dingin dan irit senyum itu dalam diamnya. Di saat Dhiya memiliki keberanian untuk menyatakan, kekecewaan yang harus dia dapatkan. Di saat bersamaan Aal yang masih di hantui rasa s...