Dhiya45[END 1]

804 45 27
                                    


Tanpa kehilangan kita mungkin tidak akan belajar menghargai sesuatu, jadi saat sesuatu yang kita miliki bagaimanapun keadaannya jaga selagi ada.

**

Duka menyelimuti wajah-wajah yang ada di tanah pemakaman. Di ujung sore ini langit senja turut mengantar Aal ke peristirahatan yang terakhir. Keluarga , teman-teman sekolah, Marko, ada disana. Dito , Ghani dan Beno ketiga adik angkat Aal juga ada disana. Mereka tampak sedih dan tidak percaya Aal sudah pergi. Ema, mama Aal masih tak kuasa menghentikan tangisnya melepas Aal pergi. Di sampingnya Naryo yang tampak lebih tegar dibandingkan istri dan putrinya setia merangkul bahu Ema menguatkan.

Langit semakin gelap satu persatu berjalan meninggalkan tanah pemakaman. Termasuk Marko yang membawa ketiga adik Aal berjalan menghampiri Naryo untuk berpamitan.

"Om saya pamit dulu. Om , tante dan Citra yang sabar," ucap Marko menjabat tangan Naryo.

"Terimakasih Ko. Om tahu selama ini kamu sudah banyak membantu Aal," Naryo memang mengenal Marko, walau tidak begitu dekat.

"Marko sudah anggap dia seperti adik sendiri Om," Marko tersenyum "Ghani, Beno, Dito pamit sama Om, tante dan Kak Citra," tutur Marko. Ketiga adik Aal menurut satu persatu menjabat tangan Naryo, Ema, dan Citra.

"Kalau begitu saya duluan Om, Tante," pamit Marko berjalam menjauh. Namun baru beberapa langkah Ema memanggilnya.

"Ko," Marko menoleh kembali. Ema berjalan mendekat.

"Tante mau mengangkat mereka menjadi anak-anak Tante," tutur Ema. Marko terdiam sejenak lalu melihat wajah ketiga anak lelaki yang berdiri di sampingnya.

"Marko serahin ke mereka aja Tante, rencananya Marko mau ajak mereka tinggal barenga saya. Tapi kalau mungkin kehadiran mereka bisa membuat tante senang dan mengikhlaskan Aal Marko setuju saja,"

"Ghani, Beno, Dito mau kan tinggal sama Tante? Tante ini Mama Kak Aal," tanya Ema pada tiga anak lelaki itu. namun ketiganya masih diam saja. Dito yang paling besar diantara ketiganya menatap Ema.

"Saya menghormati keinginan Tante sebagai Mama Bang Al, biar kami pikirkan dulu. Biar saya bicara dengan Ghani dan Beno dulu nanti Tante," jawab Dito sopan. Meskipun dia seorang anak jalanan tapi Aal selalu menyuruhnya menghormati wanita, apalagi serang ibu. Ema tersenyum menangkup wajah Dito lalu mengangguk.

"Tante akan sangat senang kalau kalian mau tinggal dan menjadi anak-anak tante," ucap Ema lagi mengusap kepala mereka bertiga bergantian.

"Nanti bagaimananya saya akan kabari segera Tante, saya dan anak-anak permisi dulu." Ema mengangguk membiarkan mereka pergi. Ema melihat Aal berada di wajahwajah mereka bertiga, sama seperti Aal yang bukan anak kandungnya. Ema merasa sayang pada ketiga anak itu.

"Citra setuju kalau mereka jadi adik-adik Citra Ma," ucap Citra, Ema tersenyum. Meski terasa sulit untuk menerbitkan senyumnya setelah kehilangan Aal.

**

Mata Dhiya perlahan terbuka, mengedar ke seluruh ruangan yang tak asing. Dinding bercat abu-abu yang penuh dengan kertas gambar sketsa berbagai wajah. Kamarnya terang tidak seperti biasanya saat dia tidur yang gelap. Dhiya mencoba bangun dan mengingat apa yang sudah terjadi sampai dia berada disini. Ada yang salah menurutnya.

Dia ingat, ia seharusnya sedang liburan bersama teman-temannya, Marshal dan juga Aal. Dhiya ingat Aal , teringat saat ia bersiap berangkat liburan ada telpon dari Citra yang mengabarkan bahwa Aal masuk rumah sakit. Dhiya ingat ia panik dan pergi ke rumah sakit bersama Marshal. Dhiya ingat ia memeluk Ema, Citra bilang Aal pingsan. Dhiya ingat dokter keluar dan bilang Aal sudah meninggal.

DhiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang