Yang paling nyata dari sebuah kisah cinta adalah, Lukanya.
***
"Al," Dhiya terus mengikuti langkah Aal yang tak menghentikan pekerjaannya di belakang meja barista. "Pulang ya? Kasihan mama lo tauk," rajuk Dhiya yang dari tadi merayu Aal agar mau pulang.
"Mit, meja nomer tiga," ucap Aal pada salah satu karyawan kafe bernama Mita yang segera membawa nampan yang diberikan Aal.
"Aaaall," Dhiya menarik ujung baju Aal dari belakang.
Aal mengembuskan napas kasar sebelum berbalik badan menghadap Dhiya. Menatap perempuan itu dalam, teramat dalam sampai membuat Dhiya tak berkutik kaku badannya.
"Lo nggak cape? udah seminggu ini lo ngikutin gue dan minta gue buat pulang Dhiya, kayaknya lebih bermanfaat kalau lo belajar daripada ngekorin gue," kata Aal.
"Capek Aal, makanya lo pulang dong kasian mama lo. Ya?" Dhiya menautkan kedua telapak tangannya memohon. Aal tersenyum penuh arti, tangannya terangkat ke arah wajah Dhiya dan menggantung di samping telinga.
"Nggak.." teriak Aal tepat di telinga Dhiya setelah menjewer telinga perempuan itu. reflek Dhiya menutup telinganya.
"Gila!! Aaaalll," Dhiya mengejar Aal yang sudah kabur menuju lantai atas. Aal terus berlari menghindari Dhiya yang bersungut.
"Heh, kalian berdua ya," mereka baru berhenti berlarian tepat di depan Marko. Dhiya diam dan agak takut, sedangkan Aal malah cengengesan. "Kayak film india aja,main kejar-kejaran." Lanjut Marko dengan kedua tangan bersedekap.
"India? Bukan lah. Drama korea, ya kan sayang?" ucap Aal merangkulkan tangan kanannya ke leher Dhiya. Sambil tersenyum jahil pada Dhiya yang semakin gemas dan akhirnya mendapat kesempatan untuk menyiku perut Aal.
"Sayang, sayang ," sungut Dhiya kesal.
"Dasar, kalau pada mau lari-larian, sono di lapangan." Judes Marko berlalu dengan tampang sok garang. Aal melangkah menuju salah satu meja di dekat pagar. Kafe belum begitu ramai kalau sore seperti saat ini. Dhiya mengikuti duduk dan menatap padatnya kota dari rooftop kafe ini.
"Gue udah bilang ke mama kalau bakal main , tapi nggak bisa pulang. Gue butuh ruang sendiri dulu Dhiy, biar bisa terima semuanya," lagi-lagi Aal bukan Aal yang seperti biasanya. Aal yang sekarang duduk di samping Dhiya Aal yang rapuh , penuh duka dan kebimbangan hidup.
"Gue maklum Al, sorry ya kalau gue terkesan terlalu ikut campur. Gue Cuma merasa,," Dhiya terdiam menggantungkan kalimatnya cukup lama, membuat Aal menoleh dan mendapati wajah Dhiya berubah sendu.
"Kenapa?" tanya Aal dengan lembut.
"Gue, Cuma... ngerasa kangen aja. Apalagi waktu kemarin gue sempet dipeluk mama lo, gue berasa pulang Al. Gue bahkan sempat berpikir, andai gue jadi lo gue mungkin bahagia punya oragtua yang sayang banget ya walau bukan orangtua kandung. Hargain mereka yang masih ada buat lo Aal, jangan sampai lo nyesal. Itu aja dari gue," dengan suara sedikit gemetar Dhiya mengutarakan perasaannya. Yang lama merindukan kasih sayang dari kedua orangtua yang telah tiada.
Aal paham dia juga terdiam, pandangannya menerawang jauh tanpa terbatas.
"Se-enggaknya lo pernah ngerasain kasih sayang mereka Dhiy, pernah lihat dan mereka pernah nyata di hidup lo. Sedangkan orangtua kandung gue sendiri aja, gue nggak tau. gue berasa kayak sampah yang nggak diinginkan." Aal tertawa hambar " Terlalu hina mungkin," katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhiya
Teen FictionDhiya menyukai Diyaz. Hampir tiga tahun lamanya dia mencintai cowok dingin dan irit senyum itu dalam diamnya. Di saat Dhiya memiliki keberanian untuk menyatakan, kekecewaan yang harus dia dapatkan. Di saat bersamaan Aal yang masih di hantui rasa s...