Dhiya[39]

444 29 0
                                    

Ada yang nunggu update?? Ada? Enggak ada ya? yaudah enggak apa-apa yan penting saya tetap update hahaha. Selamat berjumpa lagi dengan jingga. Jangan lupa vote dan komen ya. Kritik dan saran selalu saya tunggu. Terimakasih.

salam,Jingga.


Aku tidak ingin salah dalam memperkirakan jarak, agar aku tak lagi kehilangan sebelum memiliki.

**

Laras membuka matanya perlahan, melihat sekeliling mencoba mengenali tempat dimana ia berada. Dia bangun dari tidurnya dan ingat bahwa dia tidur di kamar Dhiya.

"Dhiyaa?" seru Laras ketika tidak menemukan Dhiya di sampignya. Tak ada jawaban dari orang yang dipanggilnya. Laras berjalan menuju kamar mandi untuk mengecek, tapi tidak ada juga. Laras bergegas turun ke lantai bawah tepat saat keluar kamar dia berpapasan dengan Aksa yang sepertinya juga baru bangun.

"Ada apa?" tanya Aksa yang melihat raut wajah Laras cemas.

"Dhiya nggak ada di kamar, aku mau cari dulu ke bawah," jawab Laras sambil berjalan menuruni tangga. Aksa mengikuti di belakangnya.

"Bi Win, lihat Dhiya?" tanya Laras pada Bi Win yang tengah memasak.

"Anu tadi sudah berangkat Mbak Laras,"

"Udah pakai seragam sekolahnya?"

"Sudah Mbak," Laras dan Aksa saling pandang.

"Aku mau susulin Dhiya," Laras menahan tangan Aksa yang akan beranjak pergi

"Biar Mas, Dhiya butuh waktu untuk sendiri." Ujar Laras menenangkan Aksa yang terlihat khawatir.

"Gimana kalau dia enggak pergi ke sekolah?"

"Percaya sama aku, Dhiya pergi ke sekolah. Kamu tenang aja, nanti aku sendiri yang akan jemput dia ya?" walau ada rasa tak rela namun Aksa akhirnya mengagguk dengan saran Laras.

Jam di tangan Dhiya baru menunjukkan pukul enam lewat beberapa menit, tapi sepagi itu Dhiya sudah berada di pos satpam sekolahnya. Duduk di depan sendirian.

"Dapat giliran piket apa gimana Neng kok berangkatnya pagi sekali?" tanya Pak Anto yang penasaran, karena memang Dhiya murid satu-satunya yang sudah datang. Dhiya tesenyum kecil sebelum menjawab.

"Saya sudah kelas Tiga, besok senin sudah ujian. Saya Cuma mau menikmati hari-hari terakhiir di sekolah ini Pak," jawab Dhiya. Pak Anto mengangguk paham.

"Sudah sarapan?" Dhiya menggeleng. " Ini Bapak Cuma punya roti sama air mineral," Pak Anto yang ikut duduk di samping Dhiya memberikan sebungkus roti dan air mineral gelas.

"Enggak usah Pak buat Bapak aja, nanti biar Dhiya sarapan di dalam,"

"Ehh enggak apa-apa, Bapak masih punya itu. rejeki mah enggak boleh di tolak neng," Pak Anto tetap memberikan roti itu dengan wajah tersenyum tulus. Dhiya menerima roti itu.

"Makasih Pak,"

"Sama-sama , Neng Dhiya mirip sama anak saya," tutur Pak Anto.

"Masa sih Pak?" tanya Dhiya.

"Iya, Neng Dhiya berangkat sepagi ini pasti karena lagi marahan sama orang rumah kan? Iya pasti, ngaku deh sama Bapak?" tebak Pak Anto. Dhiya hany tersenyum malu membenarkan.

"Anak Bapak juga gitu dulu. Setiap habis dimarahin saya atau istri saya, dia pergi dari rumah, ke rumah teman atau Simbahnya. Nanti marahnya reda pulang, sampai satu hari itu," Pak Anto berhenti sejenak, suaranya tertahan di tenggorokan. Matanya yang menatap lurus ke area taman berkaca-kaca. Dhiya memerhatikannya dengan seksama.

DhiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang