Mengapa memaksakan sebuah perasaan, bila akhirnya hanya akan kecewa saja.
**
"Aal Narendra, Sekar Dhiyandra Putri . ." langkah kedua orang yang di panggil namanya itu berhenti. Sesaat mereka saling pandang sebelum menoleh ke arahh suara yang sangat mereka kenal. Ibu Heni, guru bimbingan konseling yang tengah berdiri menatap kedua muridnya tajam. "Ke ruangan saya sekarang," perintah Bu Heni yang langsung berjalan menuju ruangannya.
Mau tidak mau Aal dan Dhiya mengekor di belakangnya, mereka juga sudah tahu resikonya akan seperti itu. Jadi terima nasib saja.
"Udah tenang aja, paling cuma disuruh bersihin toilet," bisik Aal sambil merangkul bahu Dhiya.
"Lo yang bersihin gue mandorin,"
"Iya Nona Halu," ujar Aal mengacak puncak rambut Dhiya gemas.
Sesampainya di ruangan Bu Heni mereka langsung duduk berhadapan dengan guru yang memanggil mereka tadi.
"Siang Bu," sapa Aal.
"Basa basi kamu Al, saya juga tau ini sudah siang. Kenapa kamu harus membolos, minta ijin kan bisa," ucap Bu Heni.
Aal mengerutkan dahi "Minta ijin buat bolos Bu?" tanyanya.
Bu Heni berdecak kesal "Ya minta ijin pulang lebih awal, seperti adik kamu Citra. Kamu bolos karena Mama kamu sakit kan?" tanya Bu Heni. Aal diam, dia tidak tahu kalau Mamanya sedang sakit. Aal bengong tak bereaksi apapun, bahkan ceramahan Bu Heni tak satu kalimat pun masuk ke dalam telinganya.
"Aal," sampai Dhiya menggenggam jemari Aal menyadarkan lelaki itu dari lamunannya. Dhiya tersenyum tipis sambil menggenggam erat jemari Aal.
"Kamu juga Dhiyandra, nilai kamu sudah kembali membaik catatan pelanggaran juga sudah tidak ada, kenapa ini kamu bolos jam pelajaran lagi?" pandangan Aal dan Dhiya kembali pada Bu Heni yang masih siap sedia memberikan ceramahnya panjang lebar.
"Apa mau saya memanggil kakak kamu yang ganteng itu kesini lagi? Biar kamu bisa jadi murid yang baik, kalian ini sudah kelas tiga dan sebentar lagi akan menghadapi ujian, seharusnya kalian banyak belajar dan berdoa supaya bisa menghadapi ujian dengan baik,"
"Dhiyandra tadi temenin saya jenguk Mama Bu, maaf kita berdua bolos. Kita janji ini yang terakhir." Ujar Aal dengan nada serius. Bu Heni menatapnya dengan tatapan selidik.
"Benar ini yang terakhir?" tanya Bu Heni meyakinkan.
"Iya Bu Aal janji. Jadi sekarang Aal sama Dhiya mau dihukum apa gimana nih?" tanya Aal lagi.
"Kalian pulang saja, untuk kali ini Ibu beri keringanan. Jangan sampai diulangi lagi, ini yang terakhir." Tegas Bu Heni.
"Siap, siap Bu. Kalau begitu kita permisi Bu," ucap Aal seraya mengajak Dhiya yang dari tadi hanya diam untuk berdiri dan keuar dari ruangan.
Setelah berada di luar, mereka berjalan menuju kelas untuk mengambil tas. Dhiya menahan langkah Aal dengan menarik pergelangan tangan Aal.
"Lo nggak mau pulang Al?" tanya Dhiya. Sorot matanya menampakkan kekhawatiran. "Mama lo pasti sakit karena dia kangen sama lo Al, pulang ya?" pinta Dhiya mencoba mencairkan kerasnya hati Aal. Aal masih diam beberapa detik, lalu seperti teringat sesuatu.
"Tenang aja gue nanti pulang kok Dhiy, ada sesuatu yang mau gue tunjukin ke lo di sana sebenarnya." Jawab Aal tersenyum penuh arti.
"Ke gue? Apaan?"
"Kapan-kapan gue ajak lo, sekarang lo pasti udah ditungguin sama sopir lo kan? Jadi lo pulang , nanti kelar UN gue ajak lo main ke rumah itu,"
"Rumah keluarga lo Al. Walaupun bukan orang tua kandung, tapi mereka yang udah rawat lo dari kecil. Nggak mungkin mereka nggak sayang sama lo Aal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhiya
Teen FictionDhiya menyukai Diyaz. Hampir tiga tahun lamanya dia mencintai cowok dingin dan irit senyum itu dalam diamnya. Di saat Dhiya memiliki keberanian untuk menyatakan, kekecewaan yang harus dia dapatkan. Di saat bersamaan Aal yang masih di hantui rasa s...