Dhiya[38]

481 40 4
                                    


Biar jarak yang memisahkan raga, asal hati dan doa selalu ada di dekat kita

**

Aal duduk di pinggir trotoar jalanan dekat kantor polisi. Setengah jam yang lalu akhirnya dia bisa menghubungi Marko dan sekarang Aal masih menunggunya karena ban motor Aal kempes belum di perbaiki. Aal memijat keningnya pelan, terasa berat. Terlihat sekuat apapun dia, tubuhnya juga memiliki titik lelah.

Betapa tidak setiap hari dia harus bekerja sepulang sekolah , masih harus belajar untuk ujian. Dan beberapa masalah yang ada dalam hidupnya. Aal harus tetap kuat, apalagi di depan Dhiya yang pernah ada di titik rapuh. Aal tidak ingin Dhiya kembali pada titik itu. menyakitkan baginya melihat Dhiya yang tanpa arah.

"Aal," panggil Marko yang baru saja turun dari mobil, dia berlari kecil menghampiri Aal. "Kok bisa?" Aal segera berdiri.

"Nanti aja gue cerita,"

"Oh, itu gue udah bawa orang bengkel biar motor lo dibawa mereka. Ayo ," ajak Marko merangkul Aal menuju mobilnya. Di dalam mobil menuju rumah Aal hanya diam, sibuk mengamati pemandangan jalanan yang sudah lengang. Marko yang berada di belakang kemudi melihatnya sekilas sambil terus fokus menyetir.

"Jadi kenapa bisa ditangkap polisi Al?" tanya Marko. Terdengar helaan napas dari Aal sambil membenarkan posisi duduknya.

"Polisinya aja gila, main tangkap orang sembarangan. Jadi tadi ban motor gue kempes, waktu gue sama Dhiya masih diskusi mau cari taksi tau-tau ada polisi kira kita ikut balapan liar, anjing itu emang polisi," umpat Aal penuh kekesalan.

"Jadi Dhiya juga ditangkap? Terus dimana dia?" tanya Marko tampak khawatir.

"Udah dijemput kakaknya."

"Kakaknya yang mana nih?"

"Sialnya , yang nggak suka sama gue. Karena Bang Marshal lagi nggak ada di rumah," tutur Aal memijat dahinya dengan jempol.

"Pasti lo dimarahin habis-habisan dong?"

"Ya udah pasti, gue sih nggak masalah. Gue cuma khawatir sama Dhiya,"

"Sorry gue nggak bantuin lo Al," sesal Marko.

"Apaan sih, ini juga lo bantuin gue. Gue yang minta maaf terus-terusan ngerepotin lo,"

"Ah lo tuh yang apaan, lo tuh udah kayak adik gue sendiri jadi nggak pernah ngerepotin. Kalau butuh apapun lo bilang sama gue, keluarga gue hutang nyawa sama lo Al. Gue nggak tahu gimana nasib gue sama kedua orang tua gue kalau dua tahun yang lalu lo nggak nolongin."

Aal tersenyum miring "Kalau yang itu lo harus bersyukur karena lo pelupa," ucap Aal diiringi tawa kecil. Marko mencebikkan bibir sebagai bentuk protes. "Kalau dompet lo nggak ketinggalan di Kafe, gue juga nggak mungkin ke rumah lo waktu itu,"

"Iya sih, tapi nyali lo gede juga Al. Berani lawan perampok-perampok itu, salut gue sama lo,"

"Yaaa, aslinya ngeri juga" terdengar lagi tawa Aal.

"Yahh pokoknya kalau lo sama ketiga adik lo butuh bantuan apapun jangan ragu-ragu buat minta tolong gue," tutur Marko tegas. Aal hanya tersenyum , pertolongannya waktu Marko dan keluarganya di rampok sebenarnya tulus. Dia tidak pernah mengharapkan balas budi apapun dari Marko. Namun keluarga bosnya itu begitu baik , selalu menawarkan bantuin. Namun Aal tidak ingin membebani orang lain dengan masalah hidupnya, maka dia jarang meminta bantuan jika tidak terlalu penting.

**

Sudah lewat tengah malam saat Aksa dan Dhiya sampai rumah. Sepanjang perjalanan Dhiya hanya diam duduk di bangku belakang. Begitu keluar dari mobil Dhiya langsung saja masuk ke dalam rumah.

DhiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang