Luka tidak selalu memberi kita pembelajaran, ia lebih sering menimbulkan rasa ketakutan.
~ ~ ~ ~ ~
Entah tidak disengaja atau kebetulan yang terlalu betul saat Dhiya sudah mampu menata perasaannya pada Diyaz hari ini ia harus kembali melihat sosok yang sudah hampir satu minggu tidak ada di dalam harinya.
Diyaz sendiri masih terpaku pada tatapan Dhiya yang masih berdiri di depan mejanya. Di sampingnya sarah tengah tenggelam dalam memilih menu yang akan mereka pesan. Tidak ada senyuman tidak ada sapaan hangat dari Dhiya apalagi tawa ceria dari gadis itu. Padahal dalam hati Diyaz , ia meridukan itu semua. Diyaz masih heran sendiri kenapa Dhiya seperti berusaha menghindarinya.
"Ehmm sayang kamu mau espres,,"
"Machalatte," Diyaz memotong pertanyaan sarah yang belum selesai ia ajukan. Sarah mengangguk.
Dhiya menghela napas lalu sedikit berbasa-basi dengan Sarah sebelum mencatat pesanan mereka lalu pamit pergi. Dengan langkah cepat Dhiya memberikan catatan pesan pada barista dan langsung menuju ruang belakang tempat biasa karyawan berganti baju atau istirahat.
Dhiya duduk di bangku besi, punggungnya ia sandarkan pada tembok di belakangnya. Perlaha dia memejamkan mata, dadanya kembali merasakan letupan yang dulu terbiasa ada saat berada di dekat Diyaz. Satu tetes air mata jatuh turun di pipinya. Nyatanya dia bukan perempuan yang kuat seperti yang dia yakini selama beberapa hari belakangan ini. Bahawa hatinya akan baik-baik saja tanpa harus tersiksa mencintai Diyaz. Bahwa ia akan terus baik-baik saja tanpa harus membebani pikirannya dengan bayangan cinta pada Diyaz.
Yang ada dia masih saja mengharap bahwa kenyataan tentang Diyaz yang sudah punya pacar hanyalah sebuah delusi. Semua tidak benar-benar terjadi.
"Gue benci lo Yaz," desisnya masih terpejam.
"Lo nggak perlu membenci buat hilangin perasaan lo, cukup anggap perasaan itu sebagai teman yang selalu berdamai sama diri lo sendiri."
"Susah Al," Dhiya membuka mata dan menghadap pada Aal yang duduk di sampingnya. "Nggak pernah semudah lo ngomong, perasaan itu tetap ada setiap kali gue ketemu Diyaz, bahkan sekarang ada perasaan lain yang ikut bercampur," Dhiya masih berurai air mata.
Aal meraih tengkuk Dhiya dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Dhiya makin tersedu menumpahkan segala perasaan sakit yang coba dia tahan sejak tadi. Yang ia coba balut dengan senyuman ramah pada Diyaz dan Sarah sebagai pelanggan kafe. Namun luka dalam hatinya malah bertambah parah dan Aal mencoba mengobatinya dengan memberi rasa aman.
"Gue tau, sekarang kita pergi aja ya. Lo nggak perlu ada di sini, sesekali lo boleh lari dari kenyataan kalo itu terlalu menyakitkan." Masih dalam pelukan Aal, Dhiya mengangguk. Tanpa menunggu lama lagi Aal membawa Dhiya pergi dari kafe. Tidak jauh hanya ke taman yang dekat dengan kafe itu. Setelah memarkir motor Aal yang dengan setia menggandeng tangan Dhiya menuju bangku panjang yang menghadap ke danau buatan yang ada di taman itu.
"Katanya alam bisa menjadi obat mujarab buat patah hati," kata Aal.
"Kata siapa?"
"Kata gue barusan, patah hati bikin pendengaran lo berkurang?"
"Mungkin. Begonya yang nggak berkurang," jawab Dhiya yang memandang lurus ke arah danau.
"Jadi, secinta apa sih lo sama Diyaz?" tanya Aal.
"Gue juga nggak tau, yang gue tau rasanya sakit lihat dia sama Sarah." Tutur Dhiya , yang tak tahu betapa sakit juga Aal mendengar itu. tapi lelaki di sampingnya tersenyum penuh arti. Bukan waktu yang menumbuhkan perasaan Aal terhadap Dhiya namun sikap dan kebersamaan mereka yang membuat perasaan simpati menjadi sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhiya
Teen FictionDhiya menyukai Diyaz. Hampir tiga tahun lamanya dia mencintai cowok dingin dan irit senyum itu dalam diamnya. Di saat Dhiya memiliki keberanian untuk menyatakan, kekecewaan yang harus dia dapatkan. Di saat bersamaan Aal yang masih di hantui rasa s...