Dhiya[22]

635 32 2
                                    


Perdebatan paling rumit itu adalah perdebatan antara hati dan pikiran. Keduanya jarang mau mengalah.

~ ~ ~ ~ ~

Mata Citra merunduk ia sama sekali tidak berani melihat Aal yang berdiri di sisi ujung ranjang. Dhiya yang duduk di kursi sebelah Citra .Keadaannya cukup baik, menurut info dari mamanya yang tadi sempat bertemu Citra hanya mengalami luka di bagian luar saja di kepalanya. Sudah lima belas menit berlalu sejak kedatangan Aal dan Dhiya suasana di ruang rawat itu terasa hening. Hanya Dhiya yang sesekali bertanya dan Citra menjawab. Aal hanya diam dan menatap ke luar jendela. Walau banyak yang ingin dia tanyakan perihal hubungan Citra dengan Riyan tapi dia takut emosinya tidak bisa di tahan.

Dhiya yang paham dengan keadaan itu berupaya bertanya pada Citra. Dia ingin menjadi seseorang yang berguuna untuk temannya.

"Lo enggak perlu takut , cerita aja"ucap Dhiya meyakinkan Citra setelah bertanya bagaimana adik Aal itu bisa kenal dan dekat dengan Riyan.

"Citra enggak tau kalau Kak Al dan Kak Riyan ada masalah , Citra hanya mengenal Kak Riyan adalah sosok yang baik. Dia perhatian banget sama aku seperti kakak sendiri." Jawab Citra akhirnya setelah beberapa waktu diam. Suaranya terdengar pelan, dia merasa bersalah karena tidak tahu bahwa pacarnya adalah musuh kakaknya sendiri.

Hening kembali, Dhiya mengusap pelan jemari Citra mengucapkan kalimat tidak apa-apa hanya lewat tatapan mata dan seulas senyum di bibirnya.

"Jauhin Riyan dia enggak baik buat lo, dia bahaya buat lo." Akhirnya Aal bersuara. Dia menatap Citra yang sebenarnya sangat dia sayangi, dia selalu bersikap kasar dan tidak mengakui Citra sebagai adiknya pada siapapun karena dia tidak ingin Riyan tau. Tapi Aal salah dan kecolongan sampai Citra malah berpacaran dengan Riyan. Hal yang sama sekali tidak pernah ada dalam pikiran Aal.

"Dan,," Aal memberi jeda sebentar, Dhiya menatapnya menunggu "Jauhin gue, karena gue bukan kakak lo,"suara Aal terdengar bergetar, Citra mendongak memandang Aal, sebentar mata mereka saling bertemu sebelum Aal memutuskan pergi. Tepat saat pintu itu menghilangkan tubuh Aal dari pandangan, Citra menangis tersedu. Dhiya tak kalah terkejutnya dengan Citra. Dia memeluk Citra mencoba menenangkannya.

"Nanti biar gue ngomong sama Aal, lo tenang dulu ya," ujar Dhiya sambil mengusap punggung Citra.

"Citra sayang banget sama Kak Al, Citra enggak mau Kak Al pergi dari rumah. Kak Dhiya bujuk Kak Al pulang ya, Citra yang salah kak?" napas Citra yang tak beraturan di tengah isaknya.

"Iya nanti gue bujukin tapi udah lo jangan nangis," Dhiya berucap seperti itu tapi air matanya sendiri mengalir begitu saja. Dia ikut merasa sakit yang Citra rasakan saat harus ditinggalkan orang yang dia sayang. Dipaksa melupakan.

~ ~ ~ ~ ~

Setelah hari ini seluruh murid dari kelas 10 sampai 11 libur selama dua minggu. Untuk kelas 12 hanya libur seminggu karena di minggu kedua mereka akan mulai mendapat pelajaran tambahan. Dhiya sudah duduk di kantin bersama Gendis dan Aal. Setelah raportnya diambil Bang Marshal kakaknya itu langsung pamit untuk kembali bekerja.

"Lo berdua pada kenapa kok diem-dieman? Lagi marahan?" tanya Gendis. Dhiya menggeleng sedangkan Aal hanya diam sibuk menghabiskan es tehnya.

"Biasanya udah pada ribut, kok ini diem? Lagi pada galau apa gimana nih ceritanya?"

"Eh gentong," Aal bersuara. " Dari jaman SMP lo berisik banget , cerewet kepoan kutuan juga jangan-jangan lo?" tuduh Aal yang seenaknya saja bicara. Dia memang selalu memanggil Gendis dengan sebutan yang dia cipta sendiri bukan nama. Dhiya menahan tawa mendengarnya, dia tau yang akan terjadi adalah adu mulut antara kedua temannya ini.

DhiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang