Pilihanku adalah melupakanmu, tapi jatuh cinta padanya bukan alasanku.
**
Langit tetap sama berwarna jingga, langit yang sama seperti yang biasa Diyaz pandang kala sore menjelang. Dari balkon kamarnya sambil memangku buku-buku materi persiapan ujian Diyaz termenung sendirian. Teringat percakapannya dengan Dhiya siang tadi di sekolah.
Beberapa bulan belakangan semenjak Diyaz belajar bersama dengan Dhiya dan Aal, Diyaz merasa ada yang aneh dengan hatinya. Dhiya sering muncul dalam pikiran Diyaz, membuat senyum-senyum tidak jelas terbit di ujung bibirnya. Membuatnya jadi memiliki hobi baru yaitu melamun. Sampai beberapa kali dia kena marah papanya karena ketahuan melamun.
Seperti sore ini Diyaz asyik merenung, mengingat kejadian tadi siang, saat dia mengatakan sesuatu pada Dhiya. Suka? Bagaimana Diyaz mengatakan itu. Entah, hal apa yang membuatnya mengatakan itu. Namun sejujurnya dalam hati Diyaz meyakini bahwa sebenarnya Dhiya juga suka padanya.
"Belajar apa kamu Yaz? Lagi mempelajari kenapa langit senja berwarna jingga?" akhirnya suara serak milik Adelia, Mama Diyaz membuyarkan lamunan Diyaz. Wanita paruh baya itu duduk di sebelah anak laki-lakinya.
"Hemm mama, ya jelas karena sorot sinar matahari yang hampir tenggelam," jawab Diyaz. Adelia tertawa pean seraya membelai helai rambut anaknya.
"Kamu kenapa kok akhir-akhir ini sering ngelamun? Ada masalah?" tanya Adelia lagi dengan suara lembut, suara favorite Diyaz yang pernah mengklaim bahwa sosok mama adalah mama idaman di seluruh dunia.
"Nggak kok ma, semuanya baik."
"Sarah gimana? Udah lama nggak main kesini," Diyaz tidak mengatakan perihal kesepakatannya dengan Sarah untuk tidak bertemu sementara waktu. Diyaz beralasan ingin fokus pada ujiannya, namun sebenarnya dalam hati Diyaz merasa tidak nyaman dengan perjodohan ini. Bahkan sejak satu tahun yang lalu, sejak pertama kali dia bertemu dengan Sarah.
"Dia juga baik, sama seperti aku sibuk persiapan ujian. Diyaz mandi dulu ya ma," pamit Diyaz membereskan buku-bukunya bersiap masuk ke kamar.
"Yaz," Adelia menahan pergelangan tangan Diyaz. " Kalau ada masalah, apapun bilang sama mama. Termasuk dengan segala keputusan papa kamu, kalau merasa nggak nyaman kamu bisa bilang baik-baik ya?" Diyaz tersenyum penuh arti pada mamanya sebelum menganggukkan kepala menenangkan. Dia lalu beranjak masuk ke kamarnya.
**
Hari selanjutnya adalah tentang masa depan. Dan Dhiya sudah bertekad untuk melupakan segala perasaannya pada Diyaz. Entahlah mengapa keyakinan itu muncul begitu kuat dalam hatinya. Dan batinnya berkata 'Harus' , demi hati yang lebih bahagia.
Di kelas Dhiya bersikap biasa saja pada Diyaz, selayaknya pada temannya yang lain. Bukan hal yang mudah memang tapi Dhiya berusaha untuk itu. Dhiya menjadi siswa rajin seperti dulu, sebelum hatinya hancur karena sang ayah meninggal. Fokusnya kini untuk ujian kelulusan.
"Dhiy, lo mau pulang bareng Aal ?" tanya Gendis yang berjalan beriringan baru saja keluar kelas yang sudah sepi.
"Iya, biasa gue mau numpang beajar di Kafe bosen kalau di rumah sendirian," jawab Dhiya jujur.
"Belajar move on juga ya?" Gendis mulai menggoda Dhiya.
"Apaan dah," Dhiya menepuk lengan Gendis, yang pasti tidak terasa apapun karena Gendis malah tertawa keras.
"Eh ya ampun gue lupa,"
"lupa apaan?"tanya Gendis.
"Gue mau pinjem buku di perpustakaan dulu ," sesaat mereka berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhiya
Teen FictionDhiya menyukai Diyaz. Hampir tiga tahun lamanya dia mencintai cowok dingin dan irit senyum itu dalam diamnya. Di saat Dhiya memiliki keberanian untuk menyatakan, kekecewaan yang harus dia dapatkan. Di saat bersamaan Aal yang masih di hantui rasa s...