Dear Biru

34.8K 1.6K 47
                                    

Bisa di bilang, tempat itu adalah tempat kelam. Dengan penerangan seadanya dari bohlam kuning yang menggantung beberapa centi dari tempat mereka duduk. Hanya sebuah gubuk yang terbuat dari bambu, tidak terlalu luas, namun tidak pernah kosong. Banyak yang memegang puntung rokok, namun asap yang keluar hanya sedikit, karena itu memang bukan rokok yang kebanyakan orang tau.

"Kalvin beli minum di mesir apa ya? Lama banget." Ujar seseorang bermata merah yang baru saja menang bermain remi.

"Tempat biasa kena gerebek kemaren." Sahut lelaki berbaju hitam bergambar tengkorak di sebelahnya.

"Terus belinya di mesir?"

"Ya enggaklah goblok. Dia muter dulu cari tempat laen." Mendengar jawaban dari temannya itu, lelaki berjaket jeans itupun menganggukan kepalanya. Karena yang di tunggunya tidak juga datang, sekumpulan lelaki itu memilih untuk bermain lagi, kali ini tidka memakai taruham, karena uang mereka sudah habis.

"Gue duluan jing." Seru lelaki yang sudah berdiri memakai jaket jeansnya. Mata lelaki itu terlihat sayu, sama seperti yang lain. "Apaan dah nyet, masih sore." Celetuk seseorang diantara kelima orang yang sedang bermain remi itu, yang di maksud masih sore adalah jam 11 malam. Memang perhitungan jam mereka berbeda dari orang normal.

Lelaki yang tadi pamit pulangpun tersenyum, "biasalah."

"Mau boboin anak orang ya lo?" Pertanyaan itu lantas membuat orang-orang yang mendengar tertawa. "Perawan apa janda?" Sahutan dari penghuni gubuk lainnya.

"Apa anak di bawah umur?"

Mendengar pertanyaan dan gelak tawa teman-temannya itu, lelaki yang kini sudah menenteng helm di lengannya itu langsung tersenyum. Tanpa menjawab apapun, ia langsung berjalan keluar dari tempat itu dan menaiki motornya. Sebenarnya dalam keadaan seperti itu, lelaki itu harusnya tak mengendarai kendaraan Namun mau bagaimana lagi? Masa motornya harus ia tinggal?

Meski sudah larut malam, namun jalanan ibu kota tidak pernah ikut beristirahat. Lelaki itu berhenti saat lampu lalulintas berubah warna, helm yang sejak tadi berada di lengannya itu pada akhirnya ia pakai karena pos polisi di dekat sana terlihat ramai dengan polisi berrompi hijau itu. Untung saja ia masih bisa berpikir untuk mengenakan helmnya. Sebenarnya lelaki itu memang tidak begitu teler, hanya saja wajahnya terlihat sangat kacau.

Lagi-lagi ia menangis saat alam sadarnya sudah dimatikan dengan asap yang masuk kedalam paru-parunya itu. Ia ingkar janji, lagi.

Bunyi klakson dari mobil di belakangnya menyadarkan lelaki itu kalau lampu sudah berganti warna. Lelaki itupun kembali melajukan motornya. Tidak jauh dari pertigaan yang ia baru saja lalui, lelaki itupun memutar stir memasuki gedung tinggi yang di dominasi oleh warna putih. Ia tau, tak seharusnya ia ke tempat ini. Apalagi dengan keadaan seperti ini, namun hal itu di luar kontrol tubuhnya sendiri.

Setelah motornya terparkir, lelaki itu langsung membuka helmnya dan berlari kecil menuju lift yang berada di ujung basement. Lift itu di dominasi oleh bahan yang lelaki itu tak tau oasti apa namanya, namun ia bisa melihat refleksi wajahnya di sana. Kacau. Sangat kacau.

Denting lift terdengar dan kedua besi itupun bergeser berlawanan arah, lelaki itu langsung berjalan cepat. Melewati pos yang biasa di tempati oleh sekuriti, namun kali itu sedang kosong. Syukurlah. Beberapa wanita berpakaian seragam putih sesekali melirik kearahnya karena datang semalam ini. Lelaki itu merunduk karena tak ingin wajahnya yang kacau terlihat.

Hingga sampailah ia di depan pintu bernomer 607 itu. Tanpa mengetuk—ia sudah tau siapa yang ada di dalam sana—ia pun membuka pintu itu. Sepasang mata pun langsung terpejam begitu melihat kehadiran lelaki itu di iringi dengan decakan dari bibirnya. "Lo gila?" Lelaki yang mengucapkan itu langsung buru-buru menutup pintu dan menarik tamu tak di undang itu untuk menjauh dari pintu.

"Bisa gak sih otak lo di pake dikit?"

"Gue mau liat Navy." Mata laki-lagi itu menatap lurus pada seseorang yang terbaring lemah di atas tempat tidur putih itu. Wajahnya terlihat pucat, namun tidurnya terlihat begitu tentram. Selang infus yang menancap di punggung tangannya membuatnya ngilu, pasti darahnya keluar banyak saat dokter menusukan jarum di sana. Berapa banyak darah yang lelaki itu keluarkan? Apakah lelaki itu baik-baik saja?

"Liat Navy sih liat Navy, tapi gak dengan lo yang teler kaya gini." Protes sahabat yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri bernama Tito.

"Dokter bilang apa?" Tanyanya, kali ini kedua manik matanya berpindah pada Tito.

"Percuma gue jelasin, lo lagi gini."

"Dokter bilang apa, To?!" Nada yang di keluarkan lelaki itu meninggi membuat Tito cemas, takut seseorang akan mendengar ucapan lelaki itu.

"Mereka masih gak tau harus apa." Mendengar ucapan Tito, lelaki itupun menyunggingkan bibirnya, "Orang tolol kok jadi dokter."

Tito berdecak, "yaudah mending lu balik, lo kesini naek apaan? Gue anter dah yuk." Tito menarik lengan lelaki itu namun lelaki berjaket jeans itu menahan tubuhnya agar tidak bergerak, "bentar."

Lelaki itu menghentak tangannya hingga pegangan Tito terurai, ia melangkah mendekati brangkar kemudian membungkukan tubuhnya. Sebelah tangannya mengelus kening lelaki bernama Navy itu. Sebelum akhirnya ia berbisik di telinganya yang tanpa sadar membuat dirinya mengeluarkan air mata.

"Gue ingkar janji lagi. Maafin gue."

Dear BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang