Dear Biru 10

6.7K 722 75
                                    

Dear Biru : kalau bisa ku ubah kelabumu jadi tabu. Dan tawamu jadi nyata. Pasti sudah ku lakukan sejak dulu. Hanya saja kamu tak pernah beri aku kesempatan. Kamu takut hancur? Atau takut menghancurkan?

***

"Kok lu pucet?" Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Grey begitu ia mematikan mesin mobilnya di depan restoran cepat saji. Grey memajukan wajahnya semakin menatap Navy dengan lekat, membuat anak itu memalingkan wajahnya.

"Gue hemofilia, lupa? Ya jelaslah gue pucet." Para penderita hemofilia memang cukup akrab dengan anemia. Satu hal yang membuat kulit Navy kadang terlihat lebih pucat dari orang lain. Namun Grey tau bagaimana adiknya. Dan pucat yang ia tau, tak separah ini.

"Serius ah. Gue gak suka ya kalo lo nutup-nutupin sakit."

"Pusing dikit." Ujarnya tidak sepenuhnya jujur. Ia tau persis akibat berbohong tentang kesehatannya, Navy kapok, namun ia malas kalau Grey sudah berlebihan. Itulah sebabnya ia tidak mengatakan yang sejujurnya kalau kepalanya memang benar-benar sakit.

"Mau pulang?"

Navy tertawa renyah, "Suka ngaco kan. Baru juga nyampe malah pulang." Anak itu langsung membuka tombol lock yang memang belum sempat Grey buka, kemudian keluar dari mobil tanpa persetujuan kakaknya. Membuat lelaki itu kelabakan sendiri. Buru-buru Grey mencabut kunci mobil yang masih menggantung di tempatnya. Lelaki itu langsung menekan tombol lock otomatis dari kunci mobil sambil setengah berlari menyusul Navy yang sudah memasuki restoran tersebut.

"Kalo gak enak badan mending pulang aja deh yuk." Ujar Grey saat berhasil menyamakan langkahnya dengan Navy. Anak itu tidak menjawab karena mereka sudah sampai di depan pintu. Seorang penjaga berpakaian hitam langsung membukakan pintu restoran itu dengan senyuman yang tentunya langsung Navy balas dengan ucapan terimakasih sebelum ia melangkah masuk.

"Nav." Panggil Grey lagi sambil memegang bahu adiknya karena kesal anak itu tak juga menyahutinya dan malah melangkah mencari tempat duduk. Meski sudah cukup larut, namun restoran yang buka 24 jam itu masih saja ramai.

"Apa sih Grey? Gue gak apa-apa." Navy menggerakan bahunya menandakan kalau ia tidak ingin disentuh. Jadi Greypun melepaskan tangannya dan membiarkan Navy pada akhirnya menarik kursi di sudut ruangan, di sebelah kaca transparant besar. Memang sulit membujuk Navy jika anak itu memang tidak mau, namun Grey sendiri tau, Navy bukan tipikal yang memaksakan tubuhnya. Kalau sudah tau akan ambruk, pasti anak itu akan memberitahu Grey.

Tanpa duduk terlebih dahulu, Grey pun langsung berkata, "Gue pesen dulu deh. Mau apa?"

"Yang biasa aja."

"Yaudah tunggu sebentar." Setelah melihat anggukan kepala dari Navy, lelaki itupun langsung pergi memesan makanan. Menyisakan Navy yang langsung menghembuskan napas lega.

Lelaki itu langsung meluruhkan tubuhnya dan meletakan kepalanya pada meja, menghadap kearah kaca transparan besar disampingnya yang memamerkan pemandangan parkiran mobil yang cukup ramai. Namun bukan itu fokus mata Navy, namun pada langit yang kala itu cerah, beberapa bintang terlihat, bulan pun purnama sempurna.

"Sorry." Tiba-tiba sebuah suara terdengar mengintrupsi kegiatan Navy. Lelaki itu langsung mendongakan kepalanya. Belum juga ia berkata apapun, seorang gadis yang tadi mengganggunya sudah terkejut terlebih dahulu. "Lah elu?"

"Kok dimana-mana ada lo sih Na?" Ujar Navy malas.

"Yee.. inikan tempat umum ceunah—eh, ini bangku ada yang pake gak?" Nara langsung mengubah topik pembicaraannya karena itulah niatnya membangunkan orang yang terlihat sedang tertidur di atas meja. Pasalnya ia kehabisan tempat, dan tempat yang di duduki oleh Navy sebenarnya meja untuk 4 orang.

Dear BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang