Dear Biru : mereka bilang ada 3 kata ajaib di dunia ini. "Tolong", "Terimakasih" dan juga "Maaf". Tapi disaat seperti ini, mungkin ketiga kata itu telah kehilangan magisnya. Terutama kata maaf. Karena tidak semua kecewa bisa ditebus dengan kata "maaf".
***
Tangan lelaki itu masih bergetar hebat. Di persimpangan jalan kecil yang lembab menuju rumahnya, di situlah ia merasa tubuh, bahkan hidupnya runtuh. Tak memiliki tenaga barang untuk bangun dari aspal lembab, akibat hujan yang baru saja sirnah.
Seluruh pakaiannya sudah kotor dan basah. Tapi lelaki itu nampak tidak peduli. Ada yang lebih penting dari sekedar noda di pakaiannya. Misalnya, bertanggung jawab atas apa yang baru ia perbuat.
Namum jangankan menelpon polisi atau ambulan, untuk berdiripun lelaki itu tak sanggup. Bahkan ia berharap kalau dirinya pingsan saja saat itu juga. Namun harapannya tak terkabul.
Hingga sorot menyilaukan dari arah kirinya makin lama semakin jelas. Ia penasaran siapa yang baru saja memarkirkan mobil tepat di depan gang? Wanita tua yang baru saja memekik setelah melewati ujung gang itu dan melihat apa yang seharusnya tak ia lihat? Atau orang yang mungkin ingin melewati gang itu untuk mencapai rumahnya? Langkah kaki yang menggema dan semakin lama semakin terasa dekat membuatnya sadar ada yang menghampirinya. Namun ia masih terkaku di tempatnya. Seolah ada borgol tak kasat mata yang melingkar di pergelangan kakinya.
"Navy!" Siapapun itu, ia tau nama lelaki yang masih tak berdaya itu. Sudah pasti kalau orang itu mengenalnya, bukan polisi atau tetangga yang sekedar lewat. Navy pun mendongak memandangi lelaki yang kini berjongkok di hadapannya.
"Gu-gue.. gu-gue udah.." air matanya mengalir membasahi pipinya, bahkan lelaki itu tak bisa melanjutkan kata-katanya. Bibirnya bergetar terlalu hebat. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Ia tak bisa mengontrol dirinya sendiri saat ini.
Namun sebuah kehangatan ia rasakan di bahunya saat lelaki itu menyimbakan jaketnya di bahu Navy. Rasa nyaman pun menyusutkan ketakutannya. Perlahan-lahan Navy yang sempat mendudukan kepalanya kembali itu pun menggerakan kepalanya, mendongak menatap seseorang yang selalu menjaganya.
"Bangun." Ujar lelaki itu dengan ekspresi yang sulit di baca. Namun yang di perintah tetap pada posisinya.
"Ck, bangun Navy." Lelaki itu memegang kedua lengan Navy dan membantunya berdiri. Lelaki itu tak melepaskan tubuh Navy barang sedikitpun, seolah tau kalau ia melepasnya, pasti tubuh Navy akan ambruk kebawah.
"Lupa kata Papa? Anak laki-laki gak boleh nangis." Meski sebenarnya ia tau apa yang membuat Navy menangis dan ketakutan adalah hal yang wajar untuk di tangisi. Namun lelaki itu selalu ingin Navy menjadi anak yang tegar. Ingin Navy menjadi kuat.
"Grey maafin gue.. maafin gue.." Navy mencengkram tangan lelaki bernama Grey yang masih memegangi lengannya itu dengan kuat. Air matanya terjatuh lagi tanpa komando.
"Nav, jangan nangis gue bilang!" Grey meninggikan suaranya, namun Navy masih tidak bisa menghentikan tangisannya.
Hingga dari ujung gang, lagi-lagi terdengar suara telapak kaki yang semakin mendekat. Grey langsung menoleh dengan cepat, memastikan kalau yang datang bukanlah sesuatu yang membuat Navy terancam. Namun cahaya dari mobilnya sendiri yang belum ia matikan itu membuatnya tak dapat melihat jelas siapa yang datang.
"Grey, Polisi udah deket." Ujar lelaki itu begitu berada di hadapan Grey. Itu Tito, sahabatnya.
Lelaki itupun langsung mengerang sebelum akhirnya menatap Navy dengan lekat, "Dengerin gua, sekarang lo pulang sama Tito, Okey? Jangan bilang apapun ke siapapun. Lo denger gue gak Nav?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Biru
RandomBook 2 after "OXYGEN". This lovely cover by @aamplass Selamat datang di dunia Biru. Dunia yang lebih kelam dari kelabu.