Dear Biru : kadang mungkin kamu lupa, hidup bukan memberikanmu kesedihan. Ia memberikanmu pelajaran. Bagaimana bisa berdiri tegak meski badai terus-terusan datang.
***
Lelaki yang hanya mengenakan kaus dan celana pendek serta sandal jepit itu masih setia duduk di kursi panjang depan ruang UGD. Kakaknya ada didalam sana menemani Navy yang masih tidak sadarkan diri. Tadi setelah ia mendengar dokter jaga UGD menjelaskan tentang kondisi Navy dan juga mendengar kakaknya menjabarkan secara detail apa yang sebenarnya anak itu alami ditubuhnya, Atlas langsung tersentak dan keluar begitu saja dari ruang UGD yang saat itu ramai pasien.
Rasa-rasanya Atlas butuh udara lebih setelah mengetahui kenyataan bahwa Navy tidak hanya mengidap Hemofilia, namun ada sel kanker yang baru berkembang juga dihati lelaki itu. Otak Atlas kemudian mengaitkannya pada segala hal di hidup Navy. Anak itu sakit, kehilangan kedua orang tuanya dan kini kakaknya masuk penjara. Entah dosa apa yang Navy pernah perbuat sehingga tuhan menghukumnya begitu keras.
Atlas menggelengkan kepalanya, rasanya teralu kejam jika ia menganggap apa yang terjadi pada Navy adalah karma dari perbuatan keluarganya. Kini ia mengubah persepsinya. Mungkin Navy adalah orang baik. Karena setau Atlas, orang baik selalu di beri cobaan yang menandakan tuhan sayang padanya.
Dan kini, bolehkah Atlas menarik segala rasa irinya juga amarahnya pada Navy? Masih pantaskah Atlas meminta maaf karena membiarkan anak itu pergi seorang diri hinggal segala kekacauan ini terjadi?
"At.." panggilan itu lantas membuyarkan lamunan Atlas, anak itu langsung mendongak dan sedikit terkejut karena yang memanggilnya adalah kakaknya. Ia kira Tito tak akan pernah mau berbicara lagi dengannya.
"Kenapa Kak?"
"Navy butuh darah. Lukanya kecil tapi darahnya keluar terus dari tadi."
Atlas langsung bangkit dari tempat duduknya, "Oh, lo mau gue ambilin di PMI? Yaudah, Golongan darahnya apa?"
Tito menggelengkan kepalanya, "Golongan darah lo sama kaya Navy. Kalo lo yang donorin aja, bisa?"
Atlas pun menganggukan kepalanya. Ia baru tau kalau golongan darahnya sama seperti Navy. Setidaknya dengan mendonorkan darahnya, mungkin perasaan Atlas bisa lebih baik. Semacam menebus kesalahannya sendiri.
"Tapi lo belom makan kan? Makan dulu yuk." Tangan Tito sudah terjulur menggandeng tangan Atlas, namun anak itu masih diam di tempat.
"Tapi Navy gak apa-apa nunggu?"
"Oke kok. Masih ada satu kantong di rumah sakit ini. Cuma karena dia hemofilia jadi darahnya keluar terus. Dia masih butuh darah lagi." Atlaspun mengangguk mengerti sebelum akhirnya berjalan berdampingan dengan Tito.
Tito melepas tangannya begitu mereka sudah keluar dari area UGD dan berjalan menuju kantin rumah sakit. Awalnya mereka memang tak berbicara sepatah katapun, seolah masing-masing dari mereka masih takut salah berucap, atau bahkan masih ada perasaan tidak enak. Namun setelah melewati pintu radiologi Tito pun akhirnya membuka suara.
"Maaf Dek." Ada sedikit rasa lega saat Atlas mendengar Tito mengucapkan kata 'dek' di akhir kalimatnya. Justru bukan kata 'maaf' yang membuatnya senang. "Maaf gue udah bentak-bentak lo tadi."
"Gue juga minta maaf Kak. Gue gak bisa jagain Navy."
Tito menoleh kearah adiknya dan mengulaskan sebuah senyuman, sayangnya Atlas masih sungkan untuk menatap Tito, anak itu masih tertunduk dan hanya memperhatikan sepatunya yang bergerak bergantian seiring langkah kakinya bergerak.
"Yang udah biarin udah ya. Yang penting lo sekarang tau, bahayanya biarin Navy sendirian."
"Tapi yang kaya gini apa bakal kejadian lagi Kak? Meda kan udah gak ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Biru
RandomBook 2 after "OXYGEN". This lovely cover by @aamplass Selamat datang di dunia Biru. Dunia yang lebih kelam dari kelabu.