BAB 16

83 14 0
                                    

"Emma, lo pilih gue atau Arya?"

Dengan singkat, padat, dan jelas, Anta akhirnya bisa mengeluarkan pertanyaan yang sudah ia pendam semenjak beberapa hari yang lalu. Ia benar-benar sudah menanyakan hal itu pada Emma. Anta merasa kasihan bila harus memojokannya seperti itu, tapi ia tidak mempunyai pilihan lain selain meminta kejelasan dari Emma.

Emma hanya berdiri disitu, menatap Anta dengan takut dan gugup. Ia tidak menjawab.

"K-Kak Anta... Emma..." gumamnya pelan. Dengan mata yang berkaca-kaca, gadis itu dengan menahan tangis berbicara lagi, "Emma nggak bisa jawab."

Setelah mendengar itu, Anta langsung tersenyum dengan pedih dan terkekeh pelan. "Seperti yang gue duga. Pasti lo nggak akan jawab."

Emma kembali terdiam. Dengan perlahan ia menurunkan pandangannya dan air mata yang ia bendung sudah tidak dapat ditahannya lagi. Bukannya gue nggak mau jawab, gue hanya nggak bisa! Apa gue sudah membuat Kak Anta sedih? Gue nggak bermaksud untuk membuatnya sedih, gue nggak jawab karena gue ingin menjaga perasaan Kak Anta dan Kak Arya. Tapi, kalau sudah begini, gue harus gimana?

"Jangan disesali." ujar Anta dengan senyum kecil di wajahnya. "Gue udah terbiasa kok." lanjutnya sambil berjalan menjauhi Emma. Tanpa kata perpisahan apapun, ia berjalan menuruni tangga.

Heran. Kenapa gue mendadak bisa menjadi setega ini sama Emma? Entahlah, mungkin gue udah muak. Mungkin dia akhirnya akan memilih Arya, batin Anta.

Anta terus saja berjalan menjauh, namun pikirannya tetap terpusat kepada Emma yang mungkin masih berdiri di tempatnya. Ia juga sempat mendengar gadis itu menangis. Air mata yang selama ini ia cegah untuk tidak lagi keluar dari mata Emma kembali membasahi pipi gadis itu. Bukan karena Arya, bukan karena Rani atau hal-hal yang lainnya.

Melainkan karena Anta sendiri.

Jujur, siapa sih yang tidak akan merasa bersalah bila membuat orang terdekatnya menangis? Mendengar isakan tangis Emma atau melihat air mata mengalir turun dari mata Emma selalu menggores hati Anta. Tapi, apa sekarang ia boleh merasa demikian bila alasan Emma menangis adalah dirinya?

Anta dikelilingi oleh banyak orang, tetapi, di tengah keramaian seperti ini, hatinya tetap merasa kesepian. Ingin sekali dia berbalik arah dan kembali pada Emma secepat mungkin untuk menghilangkan rasa gelisah di hatinya, tapi, untuk apa? Mungkin bila sekarang ia tidak berbalik, Arya akan menjadi orang yang menghampiri Emma dan menghibur gadis itu.

Sebelum ia dapat berjalan keluar dari gedung sekolah, Nicko sudah mengejarnya, "Anta! Lo mau kemana? Mau pulang? 'Kan lombanya belum selesai, kita juga belum dengerin pengumumannya!"

"Gue nggak ikut nungguin sampai pengumuman, Nick. Gue mau pulang aja, kabarin gue lewat chat."

"Emangnya kenapa kok lo mendadak mau pulang?" tanya Nicko. "Apa lo masih kepikiran masalah lo sama si Arya?" ia lanjut bertanya.

Anta menggelengkan kepalanya. Ia pun hanya melanjutkan jalannya menuju ke gerbang sekolah dengan Nicko yang tetap saja mengikutinya. "Bukan masalah itu kok. Gue udah nggak mau mikirin masalah Arya mulai sekarang, itu udah nggak penting. Sudah gue putusin sekarang untuk lebih baik menjauh."

"Maksud lo menjauh?"

Anta hanya diam dan tersenyum tipis pada sahabatnya itu, "Udah lah, nggak usah terlalu lo pikirin. Ini masalah pribadi gue sama Arya, gue nggak mau orang lain ikut campur. So, don't worry, Nick. I can handle this."

Karena Nicko tidak ingin mengganggu urusan Anta dan Arya, ia hanya bisa mendukung mereka dengan tidak ikut campur. Lagipula, ia hanya teman dekat mereka. Nicko mengangguk dan menepuk-nepuk pundak Anta sambil tersenyum, "Oke, gue percaya sama lo. Ingat ya, kalau lo butuh bantuan apapun, gue dan yang lainnya siap bantu lo."

So, Which One? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang