BAB 22

131 14 2
                                    

Enam hari kemudian.

Anta —dengan hati yang gelisah— memandang salju-salju yang berjatuhan dari rooftop apartemen tempat ia tinggal. Ia kembali memikirkan tentang masalah-masalahnya yang sudah ia tinggalkan di Indonesia. Gue adalah seorang pengecut yang bisanya hanya lari dari masalah. Kalau gue bukan pengecut, kenapa sekarang gue ada disini dan nggak menyelesaikan masalah?

Besok Anta harus memberikan jawabannya kepada Emma sebelum gadis itu pulang ke Indonesia, sebenarnya Anta memerlukan lebih banyak waktu untuk berpikir, tapi, ia sudah berjanji.

Laki-laki itu terdiam. Hanya terdengar suara angin musim dingin yang berhembus ke arahnya. Dingin. Hawa yang dingin itu menyadarkannya akan sikap yang ia berikan kepada orang-orang selama ini, betapa dinginnya dia saat berinteraksi dengan semua orang, bahkan terhadap Emma.

Dipandangnya kembali salju yang berjatuhan. Tidak, ia tidak ingin menjadi sedingin salju lagi, ia harus bisa mengubah sikapnya. Anta bisa berubah di hadapan Emma, ia juga harus bisa berubah di hadapan semua orang. Selagi masih mempunyai harapan dan kesempatan, maka harus ia lakukan. Laki-laki itu mengangguk dengan mantap dan berjalan menuruni tangga menuju ke ruangan apartemennya.

Setelah masuk ke dalam ruangan, Anta langsung mengambil HP-nya yang terletak di atas meja dan menekan tombol hijau pada kontak yang bernamakan 'Emma' di layar ponsel. Keputusan yang ia ambil sudah pasti, untuk itulah ia ingin segera memberi tahu gadis itu.

"Halo? Kak Anta?" suara itu terdengar dari seberang telepon.

"Emma, gue sekitar tiga puluh menit lagi ke hotel lo, ya? Penerbangan lo masih beberapa jam lagi 'kan?"

"Iya, Kak." jawab Emma, "Kak Anta jadi kesini dulu?"

"Jadi kok. Tunggu gue disana ya. Lo mau dibawain apa? Suka roti nggak? Buat bekal lo nanti di pesawat. Jaga-jaga kalau missal nanti di bandara lo nggak ada yang suka." Anta menawarkan.

Emma dengan gelagapan langsung menjawab, "Eh! Nggak usah repot-repot, Kak! Emma udah bawa jajanan banyak!"

"Perjalanannya nanti panjang, Emma. Bukan kayak Jakarta ke Jogja. Udah, gue siap-siap dulu, habis itu gue berangkat. Gue beliin roti ya." Tanpa menunggu jawaban dari Emma, Anta sudah menutup teleponnya satu arah.

***

"Kak? Kak Anta?" seru Emma pada HP-nya yang kini sudah tidak tersambung ke telepon lagi dengan Anta. Gadis itu menggerutu kesal setelah mengetahui bahwa telepon itu sudah terputus.

Setelah memasukkan HP-nya ke dalam tas kecil, Emma berjalan ke ibunya yang masih mempersiapkan tas-tas dan koper mereka yang akan dibawa pulang. Gadis itu duduk di samping ibunya yang sedang melipat baju-baju mereka dan menatanya di dalam koper. Ibunya menengok ke Emma setelah menyadari putrinya itu duduk di sampingnya, "Barang kamu sudah masuk tas semua?"

Emma mengangguk sebagai jawaban. "Sudah, Ma. Oh iya, Kak Anta mau kesini dulu sebelum kita berangkat. Kita masih lama 'kan berangkatnya?" tanya Emma.

"Masih ada waktu kok. Dia sekarang tinggal disini ya? LDR dong kalian~" goda ibunya kepada Emma, membuat wajah gadis itu memerah seketika. "Nggak apa-apa, jarak itu cuma cobaan. Cinta nggak bisa terkalahkan."

"Mama apaan sih..! Kak Anta bukan pacarnya Emma! Cuma teman!" gerutu Emma sambil menggembungkan pipinya. Ibunya tertawa kecil melihat reaksi putrinya itu.

Alya yang tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka sambil melewati mereka ikut menjawab, "Awas lo kalau nggak diakuin nanti bisa diambil orang. Bule-bule 'kan banyak yang lebih cantik dari kakak."

So, Which One? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang