Setelah beberapa hari terjebak dalam pesawat yang juga beberapa kali melakukan transit di bandara lain, akhirnya Emma dan keluarganya tiba di Los Angeles. Emma baru saja bangun dari tidurnya, jadi ia masih bingung dengan perbedaan pemandangan diluar jendela pesawat. Namun, semua itu tidka bisa dinikmatinya karena ia terbangun tepat saat pesawat mendarat, jadi badannya langsung terguncang, membuat gadis itu terpekik kaget. Alya yang duduk di sampingnya tertawa dengan puas.
"Udah ketawannya?" tanya Emma dengan judes kepada adiknya.
"Belom. Mau ketawa lagi tapi takut dijitak sama kakak, hehe." Alya menyengir canggung lalu dengan cepat membuang pandangannya, "Ayo, siap-siap, kak. Udah mau turun."
Dasar. Sukanya mengalihkan pembicaraan kalau udah diancam jitakan, batin Emma.
Keduanya berdiri dan mengambil masing-masing tas dan koper mereka yang berada di bagasi atas pesawat setelah pesawat mereka mendarat. Setelah pramugari mempersilahkan semua penumpang untuk turun, Emma, Alya, dan orang tua mereka turun dari pesawat dan berjalan ke dalam bandara Los Angeles.
Bandara di luar negeri memang lebih besar dibandingkan sebagian besar bandara yang berada di Indonesia. Tapi, bandara tetap saja bandara, isinya hampir sama. Emma yang belum pernah ke luar negeri tetap saja terpesona dengan apapun yang dilihatnya, semua ini terasa baru.
Sementara Emma mengagumi semua isi bandara bersama Alya, orang tua mereka sedang mencari taksi untuk mereka menuju ke hotel yang sudah ayahnya pesan jauh hari. Setelah menemukan taksi, ayah mereka memanggil keduanya.
"Emma! Alya! Ayo, taksinya sudah diluar!"
"Iya, ayah!" keduanya menjawab bersamaan dan berjalan ke arah ayahnya. Mereka semua masuk ke dalam taksi setelah meletakkan barangnya di bagasi. Untung saja bagasi taksi itu cukup untuk menampung semua barang mereka.
"Sekarang ayah mau langsung ke tempat pertemuan pekerjaannya ayah, kalian mau ikut sekarang atau ke hotel dulu? Tapi kalau di hotel, nanti tetap harus nyusul kesana." Ayahnya bertanya.
Emma dan Alya saling menatap satu sama lain. Alya hanya mengangkat kedua bahunya tanda 'terserah' pada Emma. "Kita di hotel dulu aja." jawab Emma, terlebih karena dia masih mengantuk.
"Oke kalau gitu. Bisa 'kan kalian check-in kamarnya sendiri?"
Keduanya mengangguk. Ayah mereka menyuruh supir taksi untuk berhenti di hotel mereka terlebih dahulu agar Emma dan Alya bisa turun disana.
Sepanjang jalan, Emma memperhatikan orang-orang yang berjalan dan juga bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Orang disana mayoritas lebih memilih untuk pergi dengan berjalan kaki daripada kendaraan pribadi, jadi jalanan tidak begitu penuh dengan kendaraan. Mungkin Emma juga bisa mencoba untuk berjalan mengelilingi kota nanti.
Kota itu sedang diselimuti dengan warna putih dari salju yang masih berjatuhan. Untungnya Emma sudah menyiapkan jaket di dalam tas punggungnya. Udaranya luar biasa dingin, lebih dingin daripada tempat-tempat pegunungan di Indonesia. Emma belum terbiasa dengan udara sedingin ini, ia hanya takut akan mimisan atau terkena hipotermia.
Jarak antara hotel mereka dengan bandara tidaklah jauh, hanya sekitar sepuluh menit menggunakan mobil. Setelah sampai di hotel, supir taksi itu membantu Emma dan Alya untuk mengeluarkan koper mereka dari bagasi, tidak hanya milik mereka berdua, tapi semuanya. Untung saja ada jasa pembawaan koper dari hotel, bila tidak, Emma mungkin akan berotot setelah membawa koper-koper itu ke kamar mereka.
"Alya, nilai bahasa inggris-mu berapa?" tanya Emma.
"Empat puluh lima kemarin, Kak. Nggak usah tanya deh. Kakak mau suruh Alya ngomong sama bule, nggak aka nada yang ngerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
So, Which One? [COMPLETED]
Teen FictionSaudara laki-laki kembar yang mendapatkan gelar "Pangeran Sekolah" bernama Anta dan Arya, dipertemukan dengan adik kelas mereka yang bernama Emma. Apakah kedatangan Emma akan merusak tali persaudaraan mereka yang terjaga erat? Dan siapakah yang aka...