BAB 17

105 14 1
                                    

Pagi-pagi sekali Anta sudah keluar dari rumahnya, berusaha untuk tidak membuat banyak suara saat meninggalkan rumah. Anta kembali melihat jadwal pemberangkatan pesawatnya, jam sembilan pagi. Ia lalu melihat jam tangannya dan ternyata sekarang masih pukul enam pagi. Paling nggak gue bisa beli makanan dulu atau nongkrong di kafe dekat bandara, batinnya dalam hati.

Anta menaiki taksi menuju kafe yang ditujunya, terletak hanya sekitar satu kilometer dari bandara, ia bisa berjalan menuju ke bandara setelah selesai makan dan minum di kafe itu. Semua barangnya yang perlu dibawa melalui jasa pengiriman sudah diambil oleh pihak pos pengiriman barang, jadi, ia hanya membawa beberapa tas yang tidak terlalu berat.

Setelah turun dari taksi, Anta berjalan memasuki kafe itu dan memesan segelas iced cappuccino seperti yang biasanya ia pesan di tempat manapun. Anta meminum kopinya itu setelah diantarkan oleh pelayan sambil menonton berita yang disiarkan di televisi.

Hampir satu jam Anta sudah duduk sendirian menikmati kopinya di kafe itu. Anehnya, tidak ada satu pun orang dari rumahnya yang berusaha untuk menghubunginya. Apa jangan-jangan mereka udah lupa kalau gue ada? tanya Anta pada dirinya sendiri. Tapi, sudahlah, justru dengan tidak ada yang peduli ia menghilang, semakin mempermudah rencana Anta untuk melarikan diri dari rumah.

Bagaimana dengan Emma? Apakah dia akan mencari gue di sekolah nanti?

Anta menggelengkan kepalanya. Mana mungkin Emma akan mencarinya setelah apa yang ia lakukan padanya semalam? Pasti Emma masih sakit hati. Anta menghela napas panjang. Udahlah, gue sebentar lagi juga akan pergi jauh dari Emma. Lebih baik dia nggak usah ketemu gue lagi.

Laki-laki itu menoleh ke jam tangannya yang sudah menunjukan pukul setengah delapan. Ternyata Anta tidak menyadari bahwa ia sudah duduk disitu selama satu setengah jam. Karena tidak ingin mengambil resiko untuk tertinggal pesawat, Anta membayar segala sesuatu yang ia beli di kafe itu dan berjalan keluar menuju ke bandara yang terletak tidak jauh dari kafe.

Anta duduk di dalam ruang tunggu bandara. Ia kembali melihat jam tangannya yang sekarang menunjukan pukul delapan, masih ada waktu satu jam sebelum keberangkatannya. HP milik Anta tiba-tiba saja berdering. Dengan cepat, Anta mengeluarkan HP-nya dari saku celana dan melihat layar HP. Anta mengerutkan dahinya saat melihat nama Emma yang tertera pada layar HP-nya, ternyata gadis itu menelponnya.

Haruskah gue angkat teleponnya? Gue harus bilang apa coba, kalau nanti dia tanya-tanya? Oke, gue angkat, tapi gue akan diam aja. Anta menekan tombol hijau dan menempelkan HP-nya pada telinga, menunggu suara gadis itu muncul.

"Eh, Emma, ini diangkat sama Kak Anta! Lo yang ngomong lah!"

"Lo 'kan yang telepon, Kris! Kenapa jadi gue yang ngomong?!"

"Ini nih, cepetan! Udah diangkat tahu!"

Anta tidak mengeluarkan suara apapun, ia hanya mendengarkan percakapan yang ada di seberang telepon. Terdengar suara Kristin dan Emma yang masih berdebat disana. Setelah beberapa detik, suara mereka mereda dan Emma pun mulai berbicara dengan serius,

"Kak.. Kak Anta ada dimana sekarang? Semua orang nyariin kakak karena Kak Arya bilang tiba-tiba kakak hilang dari rumah. Nggak hanya Emma, Kak, tapi semua orang. Bahkan tadi orang tua kakak datang ke sekolah untuk nyari kakak." ujar Emma dengan lembut, nadanya terdengar sedih.

Tidak lama kemudian, Emma melanjutkan, "Kak Anta.. maaf kalau ini semua salah Emma. Kak Anta pulang ya?"

Anta menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Jatungnya berdegup kencang. Kenapa tiba-tiba gue jadi merasa bersalah dan nggak enak begini? tanya Anta dalam hati. Namun, niatnya untuk diam saja masih belum hilang.

So, Which One? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang