Sepanjang perjalanan Emma menuju ke kelas, orang-orang memandanginya dengan tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang tidak mengenakan telinga. Bagi Emma, suasana seperti ini tidaklah nyaman. Rasanya seperti hari ini dunia tidak berpihak padanya. Emma terduduk di bangkunya, bahkan teman-teman sekelasnya mendadak menatapnya dan membicarakannya, tidak seperti biasanya. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Emma! Akhirnya lo dateng juga!" seru Kristin yang menghampiri mejanya. Setidaknya Kristin masih bersikap normal padanya.
Dengan pelan, Emma berbisik kepada Kristin, "Sebenernya pada ngomongin apa tentang gue..? Perasaan gue dari tadi masuk sekolah udah nggak enak.. diliatin terus sama orang-orang.. gue salah apa ya..?"
"Itu namanya mereka jealous," Kristin tersenyum lebar, "Udah, mereka nggak usah didengerin! Lo udah selangkah maju untuk jadi pacarnya Kak Anta lho~ Alhamdullilah kek."
Emma memalingkan pandangannya dari Kristin, "G-Gue sama Kak Anta nggak ada apa-apa..! Gue baru bicara sama Kak Anta kemarin.." Ia menggumam pelan, pipinya sedikit merah. Emma tidak mau teman-temannya salah sangka bila melihatnya berduaan dengan Anta, mereka baru saja dipertemukan kemarin oleh Nicko dan Kristin.
Kristin tertawa kecil, "Belum ada apa-apa aja sama Kak Anta~ Lihat aja beberapa bulan lagi, pasti lo lama-lama juga suka sama dia. Kalau lo sama Kak Anta pacaran, nanti gue harus dikasih PJ yang paling banyak dong."
"Kan gue udah bilang, gue sama Kak Anta tuh nggak ada apa-apa.." Emma merengek sambil membuang mukanya. Bila dekat dengan Anta atau Arya mengakibatkan semua mata tertuju padanya setiap saat, maka lebih baik Emma mundur sebelum perang. Ia hanya takut bila nantinya akan terjadi salah paham atau ada tuduhan-tuduhan yang tidak benar datang dari mulut orang-orang di sekolah.
Cewek di depannya hanya menggelengkan kepala, "Ya ampun, Emma.. jangan kaku banget lah jadi cewek! Siapa tahu nanti Kak Anta bakal suka sama lo! Nanti kalau lo mau ketemu lagi sama Kak Anta, gue tinggal bilang sama kakak gue untuk panggilin."
"Udah, nggak usah deh.. kayaknya kalau Kak Anta.. gue nggak pantas dapet.. levelnya jauh lebih tinggi.. lagian, gue nggak cantik-cantik banget.. pasti Kak Anta mau cewek yang cantik.."
Kristin mencubit lengan Emma, membuat cewek itu memekik, "Lo itu cantik, Emma! Ya ampun, banyak yang mau cantik kayak lo!"
Emma hanya terdiam dan menundukan kepalanya. Ia tidak pernah merasa cantik, cowo pun tidak ada yang dekat dengannya. Jadi, bila Anta dan Arya, kedua pangeran sekolah, tiba-tiba saja mendekatinya, ini bukanlah hal yang biasa. Emma pun masih tidak percaya ia dapat berbicara dengan kedua pangeran sekolah itu. Banyak cewek yang lebih cantik darinya yang tidak berkesempatan untuk berada satu meter dengan mereka. Emma merasa beruntung, tapi juga merasa bahwa dirinya tidak pantas berada di dekat mereka berdua.
"Gue mau ke kamar mandi dulu.." Emma beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar kelas. Sebelum Kristin dapat protes, ia sudah meninggalkan ruangan kelas. Seperti dugaannya, orang-orang masih menatapnya sinis. Emma mengabaikan mereka dan berlari kecil ke kamar mandi untuk sekedar mencuci mukanya. Ia menghela napas panjang sebelum keluar dari kamar mandi. Karena terburu-buru, Emma menabrak seseorang yang ingin memasuki kamar mandi itu.
Emma menoleh ke orang itu, "M-Maaf.." ucapnya pelan. Gawat. Ternyata orang itu adalah kakak kelas Emma yang paling terkenal satu sekolah. Namanya adalah Rani. Tidak ada satu pun adik kelas yang tidak hormat padanya, apalagi yang cewek.
"Punya mata tuh dipake, bego!" sentak Rani sebelum menatap Emma yang hanya menundukkan kepalanya. "Oooh, jadi lo ini ya yang namanya Emma? Anak kelas sepuluh 'kan?" tanya Rani dengan nada yang sedikit tinggi.
"I-Iya, kak..." Emma masih menundukkan pandangannya, tidak berani untuk menatap Rani.
Rani mendengus kesal sambil melipat tangannya, "Lo nggak usah gatel sama Anta deh.. baru kelas sepuluh udah main cantol aja sama dia."
"G-Gue nggak gatel sama kak Anta—"
"Emangnya gue nggak tahu ya kalau lo sama Anta tuh berduaan kemarin? Semua orang di sekolah udah tahu, oke? Jadi, lo nggak bisa ngebodohin gue. Dan untuk informasi lo ya, lo itu nggak pantas sama Anta ataupun Arya, jadi lo nggak usah berharap banyak deh. Enyah aja sana. Yang pantas dapetin Anta dan Arya itu cewek-cewek yang selevel sama gue, bukan lo." ucap Rani secara blak-blakan sebelum berjalan melewati Emma untuk memasuki kamar mandi. Beberapa orang yang menguping pembicaraan mereka hanya bisa berbisik-bisik dengan temannya.
Air mata sudah membenang di mata Emma. Ia dengan cepat mengusap kedua matanya dengan lengan bajunya dan berlari menuju ke kelas. Tanpa menghiraukan pandangan dari teman-teman sekelasnya, Emma duduk di kursinya dan membenamkan wajahnya ke dekapan tangannya sendiri. Kata-kata dari Rani menyakiti hati kecilnya.
"Emma?"
Gadis itu menoleh ke arah datangnya suara itu. Ternyata itu Kristin. Temannya itu dengan cemas menatap Emma, dahinya dikerutkan, "Lo kenapa nangis, Emma?" tanya Kristin.
"Nggak apa-apa kok.." Emma kembali mengusap matanya, "Cuma kelilipan aja.."
"Mana ada kelilipan sampai nangisnya berlebihan kayak begitu?" Kristin membuang napas, "Gue tahu lo pasti bohong, Emma.. gue udah kenal lo lama. Emangnya lo kenapa? Lo diapain sama kakak gue?"
Emma menggelengkan kepalanya, "Bukan Kak Nicko kok.."
"Terus kalau bukan Kak Nicko, siapa? Kak Anta? Kak Arya? Atau mungkin Kak Dhanu jail sama lo lagi?" Sekali lagi, gadis itu hanya menggelengkan kepalanya. "Udah, cerita aja deh sama gue, daripada gue main tebak-tebakan sama lo."
Dengan gugup, Emma akhirnya angkat bicara, "Tadi kakak kelas kita.. Kak Rani.. dia marah-marah ke gue.. karena gue deket-deket sama Kak Anta.."
Mulut Kristin sedikit menganga, "Hah? Yang bener lo? Kak Rani?" tanya Kristin masih tidak percaya, "Eh, maksud gue, apapun yang dikatain Kak Rani nggak usah lo dengerin deh! Kak Rani tuh hanya jealous karena dia nggak pernah bisa deket sama Kak Anta. Lo harusnya bisa liatin ke dia bahwa lo bisa juga kok deketin Kak Anta."
"Tapi Kristin—"
"Ssst, udah lo nggak usah protes. Daripada lo sedih-sedih begini, mendingan nanti kita lihat Kak Anta sama Kak Nicko latihan main sepak bola, mau nggak?" Kristin tersenyum lebar, berusaha menularkan senyuman tersebut pada Emma.
"Sepak bola? Sejak kapan kakak lo main sepak bola?"
Kristin terkikih, "Gue emang nggak pernah cerita ya? Kakak gue udah ikut ekskul sepak bola sekolah sejak dia kelas sepuluh. Kak Anta juga sama, mereka udah sering ikut lomba di luar sekolah. Nanti pulang sekolah kita nonton ya! Katanya sekolah lain ada yang mau ikutan latihan sama mereka."
Emma terdiam sejenak. Bila dia ketahuan berada di dekat Anta, pasti akan banyak rumor-rumor yang tidak benar menyebar di kalangan murid sekolah. Bisa-bisa Rani akan melabraknya bila informasi itu sampai ke telinga cewek paling hits itu.
"Ah, lo mikirnya kelamaan. Pokoknya, nanti lo harus ikut gue nonton, biar nanti gue ada temennya saat nungguin Kak Nicko, hehehe."
Emma tidak mempunyai pilihan lain. Mungkin dengan menonton sepak bola, itu bisa menjauhkan pikiranku dari kata-kata Kak Rani yang mengganggu dan menyakitkan, batin Emma. Bahkan, mungkin saja Anta bisa menjadi orang yang menghilangkan rasa gelisahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
So, Which One? [COMPLETED]
Teen FictionSaudara laki-laki kembar yang mendapatkan gelar "Pangeran Sekolah" bernama Anta dan Arya, dipertemukan dengan adik kelas mereka yang bernama Emma. Apakah kedatangan Emma akan merusak tali persaudaraan mereka yang terjaga erat? Dan siapakah yang aka...