⏮⏸⏭
"Wonwoo, dimana Jimin?"Nami terlihat mengernyit bingung saat mendapati hanya ada Wonwoo yang saat ini berada di meja makan, sedangkan Jimin yang biasanya paling semangat saat tiba waktunya makan malah tak menampakkan diri.
"Dia masih di kamarnya, Noona. Tunggu sebentar, biar aku panggilkan."
"Tidak usah, biar aku saja."
Nami mencegah Wonwoo yang sudah ingin beranjak dari kursinya dan setelahnya langsung berjalan menuju kamar Jimin.
Wanita cantik itu tidak langsung membuka pintu kamar saudara tirinya tersebut, dia lebih memilih untuk terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengetuk dengan pelan.
"Jimin, boleh aku masuk?"
Cukup lama Nami menunggu sahutan dari dalam kamar, namun dia tak mendapatkannya. Dan akhirnya dia pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar Jimin yang untungnya tidak di kunci.
"Jimin."
Nami tampak kaget saat melihat Jimin yang saat ini duduk di ujung tempat tidur dengan wajah yang tertunduk dalam. Digenggaman tangan kanan pemuda manis itu terlihat paspor lengkap dengan satu tiket pesawat dan satu koper besar di sisi kirinya. Nami yang melihat itu buru-buru menghampiri Jimin dan mencengkram kedua bahu saudaranya itu tanpa sadar.
"Jimin, apa maksud semua ini? Kau mau pergi kemana? Kau kan sudah berjanji akan menetap di Korea, tapi ini apa?!"
Jimin tidak menjawab. Dia masih tak bergeming. Membiarkan cengkraman Nami pada kedua bahunya yang semakin menguat.
"Jimin, jawab aku. Jangan hanya diam saja. Kau kenapa?"
Suara Nami berangsur-angsur melemah. Wajahnya diliputi perasaan khawatir. Melihat seorang Park Jimin yang biasanya selalu ceria dan tak pernah lelah menebar senyum, malah seperti raga tanpa nyawa dihadapannya saat ini.
Dalam beberapa saat hanya ada kesunyian diantara kedua saudara itu, hingga akhirnya Jimin menyentuh salah satu tangan Nami yang ada di bahunya dan berusaha tersenyum.
"Aku tidak apa-apa, sungguh. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku."
"Bohong. Kau berbohong padaku, Jimin."
Jimin mengalihkan pandangannya, tidak kuasa melihat Nami yang saat ini terlihat hampir menangis menatapnya.
"Jangan seperti ini. Kau bisa berbagi keluh kesahmu padaku, biarkan aku juga ikut merasakan beban berat yang kau rasa saat ini. Jangan hanya kebahagiaan yang kau bagi denganku. Kau juga berhak membagi rasa sakitmu padaku. Kau saudaraku, Jimin. Satu-satunya saudara yang aku miliki. Aku mohon, jangan perlakukan aku berbeda meskipun kita hanyalah saudara tiri."
Nami menghambur memeluk Jimin. Wanita itu menangis tanpa suara, menumpahkan kesedihan hatinya di bahu sempit saudara laki-lakinya itu.
"Nami, kenapa kau berbicara seperti itu? Aku tak pernah memperlakukanmu berbeda dan berhenti mengatakan kalau kita hanya saudara tiri. Aku menyayangimu selayaknya saudara kandungku, jadi jangan berpikiran seperti itu lagi."
Jimin membalas pelukan Nami tidak kalah eratnya. Sesekali tangannya akan mengelus surai wanita cantik itu.
Beberapa menit terlewati dan akhirnya tangisan Nami pun berhenti. Wanita cantik itu melepaskan pelukannya pada Jimin dan mulai berusaha menghapus air matanya.
"Jangan menangis lagi. Kau yeoja yang kuat. Aneh rasanya saat aku melihatmu menangis seperti barusan."
Jimin berusaha mengubah suasana diantara mereka agar tidak ada kesedihan lagi dan sepertinya hal itu berhasil, terbukti dengan Nami yang saat ini menatapnya dengan raut wajah kesal yang dibuat-buat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Babysitter, I Love You! (VKook)
FanfictionKim Taehyung, pria mapan yang bisa di bilang memiliki segalanya. Dia tampan, kaya raya, memiliki kuasa tak terbantahkan dan dia pun juga sudah memiliki malaikat kecil yang baru berusia 3 tahun. Namun sayangnya, dia tidak memiliki pendamping hidup sa...