Alexia Amarel

22.6K 1.6K 35
                                    

Malam itu aku hampir saja mendapatkan juara satu dalam perlombaan balap karung kalau saja ponselku yang terus berdering tidak mengemis perhatianku. Karena telepon itu terpaksa aku harus bangun dan merelakan piala kehormataan balap karungku diambil orang lain.

Dengan perasaan dongkol dan enggan, aku menerima telepon itu. Pertama aku tidak menyadari siapa yang menelepon hingga akhirnya aku mendengar suara isak tangis disertai suara lemah yang mengiris hati.

Mendengar suara Anya yang seperti itu membuat nyawaku terkumpul seketika. Belum pernah sekalipun aku mendengar suara Anya yang selemah itu. Sebenarnya aku dan Anya memang bukan teman dekat. Anya hanya sebatas teman kuliah yang kebetulan sering main bareng.

Yang aku tahu Anya itu periang, hidupnya seperti tidak pernah ada masalah. Dia selalu tersenyum. Anya memang luar biasa. Aku pernah sempat mengidolakannya.

Dan tanpa mau berpikir lebih lama lagi, aku langsung menyambar dompet, jaket juga tidak lupa kunci motor. Aku tidak memperdulikan jarum jam yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari.

Dengan kecepatan penuh pula aku datang ke tempat Anya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Anya, hanya saja suara itu membuat hati dan pikiranku kacau. Bagaimana jika Anya sedang dalam bahaya? Bagaimana jika Anya sedang dibawah ancaman orang jahat?

Setibanya aku di kosan Anya, aku langsung menerobos masuk. Sekilas tidak ada yang mencurigakan di kosan itu. Lingkungan kosan itu tenang, tidak ada keributan sama sekali. Semua penghuni pasti sudah terlelap.

Kamar Anya berada di lantai dua, dan berada dipaling pojok. Sesampainya di depan kamar Anya, aku mengetuk pintu kayu itu. Namun pintu itu tidak segera dibukakan, hingga ketiga kalinya--dengan terpaksa--aku harus mendobrak pintu itu.

Aku mengambil ancang-ancang, setelah hitungan ketiga, pintu itu berhasil terbuka. Dan sosok itu membuat hatiku makin tidak karuan. Anya terlihat kacau sekali. Kamarnya sangat berantakan, seperti telah terjadi gempa.

Kondisi Anya jauh lebih berantakan dari kamarnya. Kaosnya sobek-sobek seperti disobek paksa, dan dia hanya mengenakan celana dalam. Tubuhnya lebam, ada bekas cakaran di lengan kanan kirinya.

Aku segera berlari mendekati Anya, perempuan itu masih terisak. Melihat dirinya yang kacau, aku memberanikan diri untuk memeluknya, karena mungkin dengan pelukan dia bisa merasa aman.

"Ssstt, aku sudah disini Anya. Tenang."

Anya makin terisak. Aku mengusap punggungnya dengan pelan.

"Bawa aku pergi dari sini, Ale. Aku tidak mau disini."

Dengan terbata-bata Anya memintaku membawa dirinya pergi. Dari apa yang sudah aku lihat ini, aku tahu apa yang menyebabkan Anya takut. Ini pasti karena ulah laki-laki yang tidak bertanggung jawab.

&&

Anya masih terlelap ketika aku menyiapkan sarapan. Tadi ketika aku berhasil melepaskan diri dari pelukan Anya, aku dapat melihat wajah cantiknya yang ternodai. Ada bekas cengkraman kuku di pipi kanan-kirinya. Jelas sekali ini adalah tindak kejahatan. Aku yakin kedua pipi itu pasti dicengkram dengan sangat kuat.

Aku menghela nafas ketika bayangan Anya yang terisak di kosannya menghampiri benakku. Anya yang periang telah dirusak oleh lelaki berengsek yang tidak bertanggung jawab. Aku bersumpah pada diriku sendiri, tidak akan pernah memaafkan laki-laki jahat itu. Aku bersumpah Anya tidak akan pernah bertemu dengan laki-laki itu lagi.

Setelah semua sarapan siap, aku menghampiri Anya. Dengan perlahan aku membangunkannya. Bagaimanapun juga Anya membutuhkan asupan makanan. Untuk sekarang memang aku tidak akan membahas apa yang sudah terjadi kemarin malam, aku hanya akan membahas ketika Anya sudah siap.

9+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang