Day-7 #2

14.4K 1.4K 25
                                    

Setibanya di kontrakan, aku buru-buru memarkirkan si pitung, dan langsung berlari ke dalam rumah tanpa melepas helm terlebih dahulu. Begitu masuk, aku mendengar isak tangis dan suara kran air yang menyala. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arah kamar mandi. Sudah pasti Anya berada di dalam sana.

"Anya buka pintunya!"

Aku mengetuk pintu kamar mandi itu dengan tidak santai, pikiran negatifku sedang bertarung dengan pikiran positifku. Dan akhirnya pikiran negatifku yang menang. Aku berpikir Anya bunuh diri di dalam kamar mandi.

Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Anya tidak akan melakukan hal konyol seperti itu.

Karena cemas, aku mendobrak pintu itu--lagi. Di dalam sana aku mendapati Anya yang sudah terlihat kacau. Dia terisak sangat hebat, tangan kanannya memegang alat pipih berbentuk persegi panjang berwarna putih kombinasi biru.

Aku mendekati Anya, dan membeku ketika melihat adanya dua strip di alat itu. Aku mengambil benda itu dari tangan Anya, kemudian memeluk Anya yang mulai meraung-raung. Isak tangisnya membuat hatiku kembali teriris.

"Katakan padaku bahwa hasil itu bohong, Le! Katakan!"

Aku mengusap punggung Anya berusaha untuk memberikan ketenangan. Aku tidak bisa berkata bahwa test pack ini salah, karena dari yang pernah aku baca, menurut penilitian keakuratan test pack itu sebesar 97,4%.

"Ale, katakan! Katakan kalau aku tidak hamil, Le!"

Aku menelan ludah. Anya kembali memukul punggungku dengan berang. Aku bahkan rela jika Anya memukuli aku berulang kali. Sakit akibat pukulannya tidak ada bandingannya dengan sakit yang dia rasakan.

"Aku tidak mau hamil, Ale! Aku tidak mau hamil dengan cara seperti ini! Aku benar-benar sudah tidak suci lagi, Ale!"

Anya berusaha untuk melepaskan diri dari pelukanku. Kembali dia merasa aku ini tidak pantas memeluknya. Aku menahan Anya lebih kuat, aku tidak ingin dia kalut seperti ini lagi.

"Ale, aku kotor! Lepaskan aku! Aku tidak pantas berada dalam pelukanmu! Lepaskan aku, Ale!"

Aku hanya diam tidak menanggapi, membiarkan Anya mengeluarkan semua perkataan yang ingin dia katakan. Aku tidak akan menahan Anya berkata-kata kasar atau menyumpah serapahi aku atau bahkan laki-laki brengsek itu.

"Ale lepasin aku! Aku kotor, hina, aku sudah tidak suci lagi! Lepasin aku, Ale! Lepas!"

Yang aku lakukan hanya mengusap lembut punggung dan kepala Anya. Dia terus meronta dan meraung. Seolah dia ini benar-benar manusia paling kotor di dunia ini. Padahal bagiku, Anya masih tetap Anya. Mau dia kotor, mau dia bersih, dia tetap temanku, dia tetap Anyaku. Dia mendapatkan musibah itu juga bukan karena keinginannya. Anya hanyalah korban.

"Dengarkan aku Anya, bagi aku, kamu itu tidaklah kotor. Kamu itu hanya korban Anya. Tolong berhenti berkata kamu itu kotor. Kalau laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat. Ijinkan aku yang bertanggung jawab, Anya. Aku akan mengurus dan merawatmu hingga bayi itu lahir...."

"... namun jika kamu tidak menginginkan bayi itu, dengan terpaksa aku juga akan mendukungmu. Ingat Anya, ada aku disini yang siap 24 jam untuk kamu. Pikirkan baik-baik Anya, apapun tindakan yang kamu ambil, aku akan mendukungmu. Percayalah padaku Anya."

Mendengar perkataanku, Anya makin terisak hebat. Aku memang tidak menginginkan Anya tersiksa, aku akan sangat bersedia bertanggung jawab atas perbuatan laki-laki brengsek itu. Aku tidak menginginkan Anya membuang bayi itu, karena aku tidak ingin siksaan Anya bertambah dua kali lipat.

Meski aku tahu dia akan menanggung rasa malu karena perutnya kian lama akan kian membesar jika dia memilih untuk mempertahankan bayi itu tetap hidup. Aku akan menjadi garda terdepan untuk membela Anya, aku akan menjadi orang pertama yang mencongkel mata siapapun yang dengan berani berbisik-bisik menggunjing tentang kondisi Anya.

"Anya, don't be sad. I'll be there for you."

Perlahan-lahan isakan Anya mulai mereda, dia mengeratkan pelukannya. Dan aku mulai meresakan getaran itu makin nyata.

&&&&&

9+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang