Day-14+1

14.9K 1.3K 36
                                    

Pukul sepuluh pagi, aku sudah bersiap untuk mengantarkan Anya pulang ke Bekasi. Selama setengah jam aku menunggu Anya di ruang tamu, sedangkan Anya masih berada di dalam kamar. Entah apa yang dia lakukan.

Karena tidak mau menunggu lebih lama lagi, aku memutuskan untuk menghampiri Anya. Di dalam kamar, Anya duduk merenung di pinggiran ranjang. Aku hanya menghela nafas melihat itu, pasti ada yang mengusik pikirannya. Aku mendekati wanita itu dan duduk di sebelahnya.

"Ada apa, Anya? Kalau kamu tidak yakin, kita ke Bekasi-nya kapan-kapan aja ya?"

Anya menggeleng, dia menatapku dengan tatapan yang menyedihkan. Aku melihat ada keraguan dalam manik matanya. Aku memang tidak berada di posisi Anya sekarang, tetapi aku sangat tahu berhadapan dengan orangtua itu memang memerlukan tenaga dan kesiapan yang ekstra apalagi datangnya dengan membawa beban.

"Beri aku waktu beberapa menit lagi, Ale. Aku hanya butuh untuk menenangkan pikiranku. Jika pikiranku tenang, hatiku pasti ikut tenang."

Aku mengangguk, lalu menggenggam tangannya dengan erat. Aku berharap genggaman tanganku dapat men-transfer energi positif untuk Anya. Lalu setelah itu aku keluar kamar, menunggu Anya di ruang tamu.

Sebelum ke Bekasi, aku sengaja mampir ke rumahku yang berada di Jakarta Selatan untuk menemui Papa dan Mama. Em sebenarnya bukan untuk menemui mereka, sih. Aku datang hanya untuk meminjam mobil. Karena tidak mungkin aku ke Bekasi naik kendaraan umum, karena untuk sekarang keramaian tidak cocok untuk Anya.

Perjalanan dari Jakarta Selatan ke Bekasi membutuhkan waktu sekitar dua jam karena terjebak macet. Lama-lama kota Jakarta makin panas dan makin ramai. Kadang aku ingin pergi dari kota ini. Aku sudah lelah dengan kemacetan dan kerusuhannya.

Sepanjang perjalanan Anya diam tidak banyak bicara, sesekali dia akan menatapku, tetapi kebanyakan dia memandang keluar jendela. Aku dapat menangkap kecemasan yang bercampur dengan gugup. Aku tahu pasti Anya memikirkan respon dari orangtuanya.

Aku tidak tahu seperti apa sifat kedua orangtua Anya, yang aku tahu hanya Anya dan keluarganya itu memiliki hubungan yang hangat.

&&&

Sesampainya di kediaman Anya, wanita itu tidak langsung turun. Dia masih diam seperti tidak ingin turun. Mengerti dengan keadaan Anya, aku kembali menggenggam tangannya dengan erat.

"Kamu tidak sendirian, Anya. Ada aku disini."

Anya membalas genggamanku, dia menatapku. Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepala. Seolah menerima energi positifku, Anya melepas genggamanku lalu turun dari mobil, aku mengikuti apa yang dilakukan Anya.

Setelah itu di depan rumah kami disambut oleh Akang tukang kebun.

"Eh Non Anya, makin geulis aja sih."

"Ah Akang mah bisa aja. Ohya ini kenalin temen Anya. Ale."

Aku mengulurkan tanganku kepada Akang tukang kebun, sebelum menerima uluran tanganku, Akang itu mengusapkan kedua tangannya ke bajunya. Lalu setelah itu menerima uluran tanganku.

"Kang Bowo, tukang kebun disini. Eleh eleh temen Non Anya geulis juga nyak."

Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Kang Bowo, setelah melewati sesi perkenalan itu, kami pamit dengan Kang Bowo untuk masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah aku kembali di perkenalkan oleh Anya. Adik laki-laki Anya yang bernama Ello menerimaku dengan baik. Ayah dan Ibu Anya juga menyambutku tidak kalah ramah. Mereka semua senang akan keberadaanku.

&&&

Saat itu setelah makan malam, aku diajak Ello untuk melihat bintang di halaman belakang. Tanpa menolak, aku mengikuti Ello, adik Anya yang bertubuh atletis. Saat ini Ello sedang mengenyam bangku pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bekasi. Parasnya tampan, alisnya tebal, dan dia sangat lucu. Pasti di sekolah dia menjadi idola para wanita.

9+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang