Pagi-pagi sekali aku mendengar Anya kembali muntah-muntah, morning sickness-nya belum berakhir. Ini masih trimester pertama. Karena aku kasian dengan dirinya, aku memutuskan untuk bangun dari tidurku--meski sebenarnya aku masih sangat ingin menutup mataku.
Aku keluar dari kamar lalu menghampiri Anya yang berada di dalam kamar mandi. Anya sedang membungkukkan badan di depan wastafel dengan satu tangan memegangi rambut panjangnya dan satu tangannya lagi memegangi kran air. Aku mendekati Anya, lalu memijit lehernya dengan pelan. Untuk sejenak Anya menoleh, lalu aku tersenyum.
"Udah?"
Anya mengangguk lemah, kemudian aku memapahnya untuk keluar dari kamar mandi menuju ke dapur. Anya duduk di meja makan, sedangkan aku mengambilkan air putih untuk Anya.
"Nih, diminun dulu."
Anya mengangguk lalu menerima gelas berisi air dariku.
Aku duduk di hadapan Anya, setelah selesai minum, Anya tertunduk dengan kedua tangan menopang dahinya."Nanti kita ke rumah sakit ya? Kandungan kamu perlu di cek, Anya."
Anya hanya mengangguk lemah tanpa berkomentar ataupun menolak. Melihat hal itu membuat hatiku tergerak untuk mendekatinya dan memberikan pelukkan hangat.
&&&
Siang itu setelah menunggu Anya bersiap dan sedikit melewati sesi uring-uringan, akhirnya aku dapat mengantar Anya ke rumah sakit untuk mengecek kondisi kesehatan kandungannya.
Sebagai sesama wanita, aku hanya ingin yang terbaik untuk bayi yang sedang dikandung oleh Anya. Meskipun aku tahu bayi itu bukan darah dagingku, tapi aku akan selalu memberikan yang terbaik untuk bayi itu.
Setelah menunggu kurang lebih dua puluh lima menit, akhirnya nama Anya dipanggil juga. Sepanjang dari perjalanan hingga hampir diperiksa tidak sekalipun Anya melepaskan genggamannya. Aku tahu pasti Anya gugup dan takut, pasalnya Anya masih terlalu muda untuk mengandung.
Di dalam ruang yang didominasi warna putih dan biru itu, ada seorang dokter muda yang memiliki jambang tercukur rapi dan kaca mata berframe kotak--yang membuat dirinya terlihat sangat dewasa, dokter itu tersenyum ketika melihat kedatangan kami.
"Mari silakan duduk."
Anya duduk di samping kananku. Dan dokter yang mengenalkan diri sebagai Dokter Adit itu mulai menjelaskan tahapan-tahapan apa saja yang akan dilalui Anya selama pemeriksaan ini. Aku selalu memberikan senyuman terbaikku untuk Anya, agar wanita itu tidak merasa gugup.
Setelah melewati beberapa tahapan, aku dan Anya kembali duduk berhadapan dengan Dokter Adit.
Dokter Adit menjelaskan bahwa kandungan Anya lumayan baik, Anya diberi nasihat untuk selalu memberikan asupan nutrisi yang cukup dan tidak diperkenankan untuk memikirkan banyak hal karena itu dapat mempengaruhi keadaan janinnya.
Aku mengangguk mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Dokter Adit, sebisa mungkin semua informasi itu aku serap dengan baik, agar aku dapat merawat Anya dengan baik pula.
&&&
Selesai dengan pemeriksaan, Anya mengajak aku untuk berbelanja bahan makanan, karena Anya mulai merasa bosan memakan masakanku. Meski sebenarnya masakanku tidak buruk namun Anya mulai merindukan masakannya sendiri.
Dengan semangat empat lima aku mengantar Anya ke supermarket. Aku senang karena Anya benar-benar sudah bisa melupakan traumanya. Setidaknya dia mulai bisa menjalani hidupnya dengan normal.
"Menurut kamu mending daging ayam yang ini atau yang ini?"
Sudah beberapa kali Anya meminta pendapatku tentang bahan makanan yang hendak dia beli, kali ini kami berhenti di stand daging. Dan Anya memberikan pertanyaan yang sangat sulit untuk aku jawab, karena menurut aku ayam yang sedang ditunjuk Anya itu tidak ada bedanya, yang membedakan hanya harga dan besar atau kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
9+
RomanceIni kisah tentang dua orang yang awalnya hanya teman main menjadi "berteman dekat" setelah kejadian "itu". Si Gadis Malang yang menjadi korban mulai nyaman dengan pelukan Si Gadis Heroik. Sedangkan Si Gadis Heroik mulai terbiasa dengan degup jantung...