Day-14

14.1K 1.3K 33
                                    

Keadaan Anya makin lama makin memburuk, berkali-kali aku menemukan Anya terisak di dalam kamar mandi dan menyiksa dirinya sendiri. Dia terus merancau tidak menginginkan bayi dalam kandungannya.

Aku yang melihat itu hanya bisa menghela nafas, aku ikut sedih melihat keadaan Anya. Dengan penuh keberanian aku memeluk Anya dan mengatakan bahwa aborsi itu adalah tindakan yang salah.

Wanita yang melakukan aborsi akan mengalami siksaan yang lebih berat. Karena secara tidak langsung telah membunuh manusia titipan Tuhan. Ketika itu Anya mengangguk dan berkata tidak akan menyiksa dirinya lagi karena tidak ingin bayi di dalam kandungannya tersiksa.

Namun hari berikutnya Anya akan melakukan hal itu lagi, dia menyiksa dirinya sendiri. Dan aku harus mengatakan apa yang pernah aku katakan. Keadaan seperti itu terus terulang selama dua minggu terakhir ini.

&&&

Malam itu ketika aku pulang dari membeli makanan, aku datang ke kamar Anya untuk mengajaknya makan malam. Namun yang aku dapatkan hanya kesunyian.

Dari pagi Anya tidak beranjak dari tempat tidur, dia terus saja melamun dan tidak melakukan apapun. Aku sampai lelah sendiri melihat keadaan Anya, nafsu makanku pun ikut menurun karena memikirkan kesembuhan batin Anya.

Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, aku sudah mencoba berbagai macam cara agar Anya mau menjalani hidup bersama-sama dengan aku dari awal. Benar memang Anya menginginkan bayi itu untuk hidup, namun perilaku Anya sangat bertolak belakang dengan apa yang dia katakan.

Lelah menunggu Anya di meja makan, akhirnya aku memutuskan untuk ke balkon, karena aku pikir Anya tidak akan meninggalkan kasurnya. Dia sudah semacam patung, tidak bergerak sama sekali.

Dengan ditemani langit malam dan segelas coklat panas, aku duduk merenung. Rumah ini berlantai dua, lantai dua seharusnya dipakai untuk menjemur pakaian namun karena aku suka memandangi langit, jadi aku tidak pernah menjemur pakaian di balkon, balkon hanya aku gunakan untuk menenangkan pikiran.

Ketika coklat panasku mulai dingin dan hanya tersisa seperempat gelas, suara langkah kaki itu menyapa telingaku. Aku tahu betul di rumah ini hanya ada aku dan Anya, seketika bulu romaku berdiri. Tidak mungkin itu suara langkah kaki Anya. Tanpa berani menoleh, aku terus saja merapalkan doa agar suara langkah kaki itu menghilang.

Namun semakin lama suara langkah kaki itu semakin keras terdengar. Aku memejamkan mata mencoba untuk berpikiran jernih, tapi aku rasa itu tidak berhasil. Aku masih saja merasa takut. Ah cupu sekali aku ini.

Saat aku selesai merapalkan doa, aku merasakan ada yang memegang pundakku. Tangan itu terasa dingin mengenai kulitku, jika berada di rumah memang aku tidak pernah memakai baju yang normal, aku selalu suka memakai tanktop atau kaos tanpa lengan.

"Ale, ada yang ingin aku bicarakan."

Aku membuka mata ketika mendengar suara lembut itu, aku hanya bisa menghela nafas lega ketika mendengar suara Anya. Ternyata itu tadi bukan hantu.
Hah aman, aman.

Anya mengambil duduk di sebelahku, aku mengamatinya dari atas sampai bawah. Sudah tiga hari ini Anya tidak mandi, tetapi mengapa wajahnya masih tetap cantik? Ya walaupun terlihat sangat berantakan, sih. Tapi dia tetap cantik kok.

"Bicarakan saja apa yang ingin kamu bicarakan, Anya. Aku akan mendengarkan."

Pandangan mata Anya jauh menerawang ke depan, lalu sekilas dia menatapku. Aku hanya bisa tersenyum masam. Anya masih belum mendapatkan sosoknya yang dulu.

"Tapi sebelum itu, boleh aku minta coklatmu?"

Aku terkekeh mendengar permintaan Anya. Menggemaskan sekali wanita ini.

"Tentu, habiskan saja jika kamu mau."

Anya mengangguk, lalu tangan kirinya terulur untuk mengambil gelas yang berada di atas meja kecil di depan kami. Setelah selesai meminum coklatku, Anya mengembalikan kembali gelas itu ke tempat semula. Lalu dia kembali menerawang jauh ke depan.

"Dua minggu lagi kita wisuda 'kan, Le?"

Aku mengangguk. Ya memang sebentar lagi kami akan di wisuda, dan itu membuat hatiku senang. Akhirnya perjuanganku selama empat tahun ini membuahkan hasil juga. Sebentar lagi nama belakangku akan mendapatkan gelar. Alexia Amarel, SE.

"Iya, kenapa?"

Anya menghela nafas berat, lalu menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan maknanya. Sedihkah, kecewakah, marahkah atau bimbangkah?

"Apa yang menganggu pikiranmu, Anya? Katakan saja, siapa tau aku bisa membantu."

Kembali Anya menghela nafas, lalu dia memalingkan wajahnya. Dia memandangi lampu-lampu kota Jakarta.

"Ale?"

"Ya?"

Aku menoleh menatap Anya. Sedang seorang yang aku tatap itu membalas tatapanku. Dia seperti ingin mencari sesuatu dalam mataku.

"Kamu masih ingin membantuku merawat bayi dalam kandunganku?"

Aku mengangguk dengan mantab. Tentu saja aku tidak akan ingkar janji, dengan senang hati aku akan menjadi pendamping Anya dalam mengurus bayinya.

"Kalau begitu temani aku pulang ke Bekasi, aku ingin bertemu dengan orang tuaku."

Aku mengerjap mendengar perkataan Anya. Sudah siapkah dia menerima respon dari kedua orangtuanya jika mengetahui anak gadisnya telah ternodai?

"Apa kamu yakin, Anya?"

Anya mengangguk dengan lemah, lalu dia bergeser mendekatiku. Anya melingkarkan kedua tangannya ke lengan kananku. Kepalanya dia senderkan di bahuku.

"Entahlah Ale, tapi kurasa Ayah dan Ibuku harus tau ini. Sebentar lagi aku di wisuda, tidak mungkin aku merahasiakan ini lebih lama lagi. Aku sudah tidak sanggup, Ale."

Aku mengangguk, tanganku yang terbebas bergerak untuk mengusap puncak kepala Anya dengan lembut.

"Aku akan menemani kamu sampai kapanpun, Anya. Apapun yang ingin kamu lakukan, aku akan mendukungmu."

"Terimakasih banyak, Ale. Maaf, aku terlalu merepotkanmu."

"Tidak apa, ini kan gunanya teman?"

Dan malam itu kami menikmati langit malam dengan ditemani keheningan. Aku membiarkan Anya bermain dengan pikirannya sendiri, sedangkan aku mencoba untuk menormalkan degup jantungku yang mulai tidak karuan.

&&&&&

9+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang