Aku tidak tahu apakah sekarang hubunganku dengan Anya sudah berubah menjadi sepasang kekasih atau masih berteman baik. Sebenarnya aku tidak memusingkan apa statusku dengan Anya. Menurutku status tidaklah terlalu penting, jika dengan tanpa status saja Anya sudah menjadikan aku tempat berlindungnya. Kenapa harus pusing memikirkan status?
Sore itu Anya memintaku untuk mengantarkannya ke supermarket. Dia ingin berbelanja bahan makanan dan keperluan selama beberapa minggu ke depan. Kebetulan sekali kebutuhan seperti sabun, pasta gigi, deterjen, dan semacamnya sudah mulai menipis dan meminta untuk di refill.
Setelah menunggu selama beberapa menit, akhirnya Anya keluar juga menghampiri aku yang sudah siap berada diatas si pitung. Anya menutup pintu sekalian menguncinya, lalu setelah itu ia menghampiriku.
Aku tersenyum lalu memberikan helm bogo berwarna hitam itu untuk ia pakai.
"Kenapa pakai helm seperti ini sih? Bukannya helm seperti ini tidak safety?"
Sambil melajukan si pitung, aku menanggapi pertanyaan Anya.
"Siapa bilang nggak safety? Nyatanya aku makai helm ini udah lewat dari satu tahun tapi aku masih aman-aman aja tuh."
Aku memang terlanjur suka dengan helm bogo, karena bentuknya yang lucu dan mungil apalagi kuda besiku adalah si pitung. Kendaraan klasik harus diimbangi dengan helm yang klasik pula.
"Ya tapikan ini helm nggak cocok kalau dipakai untuk perjalanan jauh."
Laju si pitung berhenti ketika lampu lalin sedang menyala merah, aku menatap pantulan Anya di kaca spion lalu tersenyum.
"Kalau mau berpergian jauh, aku lebih memilih dengan kendaraan roda empat. Ini helm emang bukan untuk perjalanan jauh, Anya."
"Tapi, kan--"
Sebelum Anya menyelesaikan kalimatnya, buru-buru aku potong. "Sudahlah, ini cuma masalah helm, Anya. Sekarang kamu fokus aja ngelihat jalanan, coba perhatikan dan hitung berapa banyak mobil yang berwarna hitam."
"Buat apa aku ngehitung?"
"Ya hitung aja, nanti aku kasih hadiah kalau berhasil ngehitungnya."
"Wah, yang bener?"
Aku mengangguk.
"Janji ya? Oke aku hitung!"
Si pitung kembali melaju ketika lampu lalin sudah menyala hijau, kedua tangan Anya kemudian melingkari perutku. Aku sedikit terkejut namun detik berikutnya aku tersenyum. Lalu Anya benar-benar mulai menghitung.
&&&&&
Seperginya dari supermarket, Anya memintaku untuk mengantarkannya ke mini market karena dia lupa membeli pembalut. Aku sempat kesal karena dia tidak mencatat apa yang hendak ia beli.
Lalu akhirnya tanpa ingin berlarut dalam kekesalan, aku mencari mini market terdekat yang searah dengan jalan pulang. Ketika sampai di mini market, Anya turun dari si pitung dan masuk ke dalam mini market. Aku sengaja menunggu di luar dan tidak ikut masuk karena tidak ingin membayar parkir.
Kadang aku merasa kesal dengan tukang parkir, karena mereka datangnya diwaktu yang sangat tepat--ketika hendak pulang--. Disaat datang tidak ada tukang parkir tetapi disaat pulang tukang parkir itu muncul. Mending kalau tukang parkirnya niat kerja, kalau enggak? Helm bisa ilang.
Setelah kurang lebih sepuluh menit menunggu, Anya keluar. Ketika dia berjalan kearahku, aku melihat ada perubahan sikap dari Anya. Dia seperti habis melihat hantu, Anya ketakutan.
Karena merasa ada yang janggal, ketika Anya hendak menaiki si pitung, aku menghentikan Anya. Aku menariknya berhadapan denganku.
"Apa yang terjadi, Anya? Kenapa kamu terlihat pucat dan ketakutan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
9+
RomanceIni kisah tentang dua orang yang awalnya hanya teman main menjadi "berteman dekat" setelah kejadian "itu". Si Gadis Malang yang menjadi korban mulai nyaman dengan pelukan Si Gadis Heroik. Sedangkan Si Gadis Heroik mulai terbiasa dengan degup jantung...