28 Weeks: Ily

12.4K 1.3K 117
                                    

Sepulang dari Jogja beberapa minggu yang lalu, Anya sudah tidak banyak meminta yang jauh-jauh. Namun sekarang yang dia minta berubah menjadi aneh-aneh.

Kemarin pada minggu ke-25, Anya meminta dibelikan komik conan volume 1-10. Padahal Anya sangat tidak suka membaca komik.

Dulu aku pernah membaca komik, dan ditegur oleh Anya. Katanya; 'Sudah besar, bisa hidup mandiri, tapi kok bacaannya komik. Masa kecilnya kurang bahagia atau bagaimana?'

Dia mengatakan itu pada saat aku baru mengenalnya dua minggu. Pertama kenal memang Anya orangnya sewot seperti itu. Sampai aku pernah sempat membencinya karena kesewotannya. Namun lama kelamaan, aku jadi mengidolakan Anya. Karena dia cerdas, berprestasi, dan tentunya keren. Aku suka wanita yang cerdas.

Sepulang mengajar, aku membawakan Anya sekotak manisan buah carica oleh-oleh dari salah satu anak didikku.

Seperti biasa, jika aku pulang, Anya selalu menunggu di ruang santai. Anya sudah sangat hafal dengan jadwal keberangkatan dan kepulanganku.

"Welcome home, Ale. Apa itu yang kamu bawa?"

Setelah menutup pintu, aku menghampiri Anya. Perut Anya yang kian membesar, menarikku untuk terus menyapa Anya junior di dalam sana.

Sesampainya dihadapan Anya, aku berjongkok, lalu mencium perut Anya.

"Aku pulang, Ily. Do you miss me like i miss you, huh?"

"Iya, Mommy Ale. Ily sangat rindu."

Mendengar perkataan Anya, aku hanya tersenyum. Lalu bangkit berdiri, kemudian mencium puncak kepala Anya.

"Kalau Mamanya Ily rindu Mommy Ale tidak?"

Anya bergidik. "Kok geli ya aku dengernya, Le."

Aku hanya terkekeh, "Ini carica dari Nana, anak didik aku."

Anya menerima kantong plastik yang aku berikan, lalu berdiri menuju ke dapur. Anya menaruh carica itu ke dalam kulkas.

Aku melepas jaket kulit dan sepatu yang aku pakai, lalu merebahkan punggung pada sandaran sofa. Memang melelahkan mengajar anak-anak.

&&&&&

Malam itu, sekitar pukul 6, aku dan Anya sedang asik menonton film Angry Bird yang diputar di Trans TV. Acara menonton kami ditemani oleh semangkuk popcorn dan selimut yang menyelimuti kami berdua.

Dari mulai opening hingga seperempat jalan, Anya selalu memelukku. Akupun tidak menginginkan pelukkan ini terlepas. Kami sama-sama menikmati waktu malam kami.

Tidak lama, pintu rumah diketuk. Aku hendak melepaskan pelukan ini, namun Anya menahanku.

"Biarin aja, aku masih ingin berada dalam pelukanmu."

"Tapi Anya, itu ada tamu."

Anya merenggangkan tubuhnya, dia menatapku dengan tatapan andalannya. Tatapan itu berarti kurang lebih seperti ini; 'Biarkan saja, kamu lebih memilih tamu daripada aku?'

Aku menghela nafas, kembali menarik Anya agar mendekat padaku.

"Baiklah, aku tidak akan pergi, aku akan membiarkan tamu itu menunggu lebih lama lagi sampai kamu puas memelukku."

Hampir lima menit, pintu tetap diketuk dan tidak ada yang beranjak dari sofa. Hingga akhirnya, pintu itu terbuka sendiri dan menampilkan dua mahluk ciptaan Tuhan yang indah dengan raut muka kesalnya.

"Oh jadi karena sedang bermesraan kemudian tidak ingin membukakan pintu untuk kedua sahabatmu ini, begitu Nyonya Anya dan Tuan Ale?"

Aku terkejut mendengar perkataan Cindy, orang itu datang diwaktu yang tidak tepat. Anya melepaskan pelukannya, dia menoleh ke belakang melihat Cindy dan Bila yang berjalan menghampiri kami.

9+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang