32 Weeks

11.5K 1.2K 82
                                    

"Anya, jangan lupa untuk selalu menuliskan catatan tentang pergerakan bayi yang kamu rasakan. Jangan lupa juga setiap dua minggu sekali kamu harus kontrol. Tinggal selangkah lagi kamu akan menjadi ibu yang sesungguhnya."

Anya mengangguk mendengar perkataan Dokter Adit, tanganku selalu menggenggam erat tangan Anya yang berada di atas pangkuanku, dengan maksud agar bisa mengurangi rasa kegugupannya.

"Terimakasih Dok untuk hari ini, aku akan selalu mengingatkan Anya untuk tidak lupa dengan catatannya."

Setelah berpamitan dengan Dokter Adit, kami berdua keluar. Ketika di perjalanan hendak ke parkiran, Anya mengajakku untuk duduk-duduk sejenak di taman rumah sakit, karena tidak ada alasan untuk menolak, aku mengiyakan ajakan Anya.

Tidak banyak insan di taman rumah sakit yang tidak terlalu luas itu. Ada satu keluarga yang nampaknya sedang menunggu waktu jam besuk, ada juga seorang anak kecil yang sedang makan di temani oleh seorang suster. Anak itu duduk di kursi roda dengan tabung oksigen di samping kiri kursinya.

"Ale, bagaimana jika anak ini menanyakan keberadaan Ayahnya kelak? Apa yang harus aku katakan?"

Pandanganku yang tadinya terarah ke seorang remaja yang sedang bermain dengan adiknya, kini beralih memandangi Anya. Pandangan matanya terarah pada seorang anak yang sedang makan disuapi oleh suster.

"Bagaimana dengan mengatakan yang sejujurnya?"

Anya menatapku sejenak, kemudian menghela nafas. Kembali wanita disampingku ini memandangi anak laki-laki yang duduk di kursi roda itu.

"Apakah seorang anak bisa dengan begitu saja menerima kenyataannya kelak?"

Aku memejamkan mata, menghela nafas, lalu mengikuti arah pandang Anya.

Mengapa kamu menjadi begitu serius, Anya?

"Kalau aku yang jadi anak ini, pasti aku akan shock, dan mungkin pergi sejenak dari rumah untuk mencari ketenangan. Bagaimana denganmu, Ale?"

Anya kembali menatapku, aku hanya bisa tersenyum miris. Tidak seharusnya Anya memikirkan hal seperti ini, dia akan segera melahirkan, tidak baik untuknya jika memikirkan hal berat seperti ini.

Aku bergeser mendekati Anya, lalu menarik Anya ke dalam pelukanku. Aku mengusap punggung Anya perlahan, berbisik pelan tepat di telinga kirinya.

"Yang--mungkin--akan aku lakukan ketika mendengar suatu kejujuran yang sangat mengejutkan, adalah; aku hanya akan memeluk Mamaku seperti ini. Aku tidak ingin meninggalkan Mama yang sudah berjuang untuk menyelamatkan aku dari jurang maut kematian."

Mendengar jawabanku, Anya mengeratkan pelukannya, ia menangis. Suara isak tangis tertahan itu mulai mengetuk indra pendengaranku dan mengoyak hati kecilku. Kembali aku mengusap punggung Anya. Mencoba memberikan ketenangan.

"Kamu itu wanita yang baik Anya, percaya padaku jika kelak anak yang akan kamu lahirkan ini tidak akan pernah melawan semua perkataanmu. Dia akan menjadi anak yang penurut dan penyayang seperti kamu, karena buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, 'kan?"

Anya makin terisak, aku melepaskan pelukanku, lalu menatap Anya dalam, mengusap air matanya dengan kedua tanganku. Lalu menggenggam kedua tangan Anya dengan erat. Inilah caraku menyalurkan kekuatanku untuk Anya, agar dia tidak khawatir.

"Aku hanya khawatir, Ale. Aku khawatir anak ini tidak bisa menerima kenyataan lalu pergi meninggalkan aku begitu saja. Aku takut jika nantinya anak ini akan membenci aku, Ale."

Aku menggeleng, lalu kembali memeluk Anya. "Jangan berkata seperti itu, Anya. Yakinlah bahwa anak ini tidak akan membencimu apapun yang terjadi."

Anya mengangguk dalam pelukan, dia kembali mengeratkan pelukannya. Dengan masih terisak, aku membiarkan Anya melepaskan apa yang ingin dia lepaskan. Aku membiarkan dia menangis agar dia merasa lega. Aku tidak ingin batin Anya tersiksa. Aku tidak ingin Anya bersedih. Sudah cukup dia menerima perlakuan becat Fabian. Jangan sampai Anya depresi lagi.

&&&&&

Sepulang dari rumah sakit, suhu tubuh Anya meningkat drastis. Tadi sesaat Anya turun dari motor, dia mengeluhkan pandangannya yang kabur, Anya tidak bisa melihat dengan jelas. Dan baru beberapa langkah, Anya jatuh pingsan. Karena panik, aku langsung memanggil taksi dan kembali lagi ke Siloam.

Sekarang Anya sedang tertidur pulas di ruang rawat inap, ia ditemani oleh Tante Irene dan Om Anwar. Mereka datang di saat Anya masih belum sadarkan diri. Karena ingin memberikan waktu untuk Tante Irene dan Om Anwar menjaga anak kandungnya, aku memutuskan untuk kembali duduk merenung di taman rumah sakit dengan ditemani sekaleng kopi instan.

"Bagaimana keadaan Anya?"

Ketika mendengar suara alto Cindy, aku mendongakkan kepala. Menatap wanita berkaos pink dengan celana jeans sobek-sobek, rambutnya dibiarkan terurai, sehingga angin bisa dengan leluasa mempermainkan rambut hitam dengan gradasi biru muda itu.

Sepertinya semua orang bergerak cepat ketika aku memberitahu mereka kalau Anya jatuh pingsan dan sedang dirawat di rumah sakit. Nyatanya dalam waktu tidak sampai setengah hari mereka semua yang aku hubungi sudah mulai berdatangan untuk melihat kondisi Anya.

Jika Anya bangun, pasti dia akan senang karena mengetahui orang tua, adik, dan kedua sahabatnya ada di sini untuk menemaninya. Karena hanya mereka yang membuat Anya kuat dan bahagia, meski Anya tidak pernah mengatakan itu secara langsung.

"Ya seperti yang lo lihat, dia masih tertidur."

Cindy ikut duduk di sampingku. Dia meminum teh kotaknya, lalu menatapku.

"Apa yang membuat Anya jatuh pingsan?"

"Biasa, penyakit bawaan hamil. Kata dokter, suhu tubuh meningkat dan pandangan kabur itu sudah biasa terjadi jika memasuki bulan ke-8. Tapi, kalau menurut gue, Anya lagi banyak pikiran, mungkin itu yang buat dia sakit."

"Kenapa lo membiarkan Anya banyak pikiran?"

Mendengar pertanyaan Cindy, sontak membuat aku menolehkan kepalaku. Aku menatap tajam kearah Cindy. Secara tidak langsung pertanyaan itu membakar emosiku.

"Gue nggak pernah membiarkan Anya memikirkan banyak hal. Gue selalu berusaha agar dia senang, agar dia melupakan semua kesakitannya! Lo tau apa tentang usaha gue buat bikin Anya lupa sama perbuatan bejat Fabian, ha?!"

"Whoa, easy girl, nggak perlu pakai otot, gue cuma nanya. Sorry kalau pertanyaan gue bikin lo marah."

Aku mengatur nafasku yang mulai naik turun, jika saja Cindy melontarkan lagi pertanyaan yang membakar hatiku, aku sangat yakin pasti Cindy akan ikut tidur di ranjang rumah sakit.

"Gue ke sini mencari ketenangan, kalau lo cuma pengen mengacaukannya, lebih baik lo pergi, Ndy. Gue nggak butuh kehadiran lo kalau lo cuma mau adu mulut sama gue."

Cindy menghela nafas, dia menatapku, "Tenang sis, gue bakal diem kok sekarang. Gue cuma pengen ada buat lo aja."

Aku menyandarkan kepalaku pada sandaran kursi taman, memandangi sejenak langit sore yang mulai menggelap. Deretan awan yang bergerak bebas dengan tempo sedang mampu membuatku makin tidak karuan.

Aku menutup mataku, menghiraukan kehadiran Cindy dan gerak awan yang menganggu pandanganku. Entah mengapa memandangi awan--ditambah kehadiran Cindy--membuat pikiranku makin kacau.

Apakah aku telah gagal menjaga Anya? Apa selama ini Anya memiliki beban pikiran yang sangat berat yang tidak aku ketahui?

Tetapi mengapa Anya tidak mengatakannya padaku jika dia memikirkan banyak hal? Bukankah aku selalu ada 24 jam untuk Anya?

Aku menghela nafas, semua pertanyaan itu selalu terngiang dalam benakku.

Aku benar-benar membutuhkan jawaban!

&&&&&

9+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang