Day-7

16.9K 1.4K 12
                                    

Pagi ini jadwalnya aku ke kampus. Setelah menyiapkan sarapan, seperti biasa aku membangunkan Anya. Gadis itu masih terlelap ketika hendak aku bangunkan, aku melihat ke arah jam dinding, sekarang masih pukul tujuh pagi.

"Anya, bangun. Ayo sarapan."

Aku duduk di sisi ranjang, menepuk-nepuk pipi Anya dengan pelan. Perempuan itu hanya mengerang. Kalau kata kebanyakan orang, 'wanita kalau udah cantik dari lahir mau dalam kondisi apapun pasti tetap cantik.'

Dan aku orang pertama yang akan mengiyakan perkataan itu. Dalam mode tidur saja Anya masih terlihat cantik. Bekas cengkraman kuku yang berada di pipi Anya mulai memudar.

Anya tak kunjung bangun, dan itu membuat aku dapat men-scan wajah Anya lebih lama. Sekarang aku tahu mengapa Fabian begitu posesif terhadap Anya, aku saja yang perempuan dapat terpesona melihat Anya.

Dia memiliki hidung yang tidak pesek juga tidak mancung, pas, tipikal hidung orang Indonesia. Kulitnya kuning langsat, dan halus seperti kapas. Alisnya tidak terlalu tebal tetapi tetap ketara meski tidak memakai pensil alis. Bulu matanya pun lentik.

Wanita ini benar-benar, tunggu ... lantas apa bedanya aku dengan Fabian jika aku bersikap 'menelanjangi' Anya seperti ini? Aku menggelengkan kepala, tidak ingin bersikap 'kotor', Anya bukan properti yang dapat aku nikmati keindahannya. Aku tidak mau berperilaku seperti laki-laki kebanyakan.

Karna aku tidak ingin menggangu waktu tidur Anya, aku bangkit dari duduk, mencari note dan pulpen di tas, setelah ketemu. Aku menulis note untuk Anya. Aku harus segera pergi dari sini, aku tidak ingin otakku makin nakal. Aku tidak ingin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Sebelum benar-benar pergi dari kamar Anya, aku luangkan waktu beberapa detik untuk melihatnya. Setelah dirasa cukup, aku menutup pintu dan melangkah pergi.

&&&

"Kok gue nggak pernah liat Anya sih?"

Ketika di kantin, tiba-tiba Cindy datang dengan pertanyaannya. Dia mengambil duduk di hadapanku. Rupanya dia tidak sendirian, dia ditemani oleh Bila.

Cindy dan Bila memang teman mainku--ditambah Anya. Kami berempat memang berbeda jurusan tetapi masih satu fakultas. Aku dan Cindy lebih berminat di marketing, sedangkan Anya dan Bila lebih berminat di keuangan.

Kami berempat bisa bertemu karena sebuah ketidaksengajaan. Waktu itu tidak sengaja Cindy bertemu dengan Anya dan Bila, yang ternyata Anya adalah teman masa SMP Cindy. Waktu pertemuan tidak sengaja itu aku tidak ada disana. Lalu beberapa hari kemudian kami tidak sengaja bertemu kembali. Dan akhirnya kami jadi sering bertemu dan bermain bersama sampai sekarang.

Bila dan Anya adalah tipe anak ekonomi yang modis dan cantik, idaman para kaum adam lah. Sedangkan aku dan Cindy lebih terlihat seperti anak seni daripada anak ekonomi. Kebetulan selera fashionku dengan Cindy itu sama. Kami sama-sama menyukai warna-warna gelap dan jeans. Yeah, i love jeans so much!

"Anya lagi nggak dalam keadaan baik, dari kemarin dia tidur di kontrakan gue."

Sembari melihat-lihat lowongan pekerjaan di koran, aku menjawab pertanyaan Cindy. Bila yang tadinya sibuk mengunyah ayam geprek tiba-tiba menimpali.

"Loh kok dia nggak bilang kalau tidur di kontrakan lo?"

Aku mengangkat bahu tanda tidak tahu. Aku saja terkejut ketika orang pertama yang dihubungi oleh Anya waktu kejadian itu adalah aku. Padahal daripada aku, Anya lebih dekat dengan Bila.

"Kemarin terakhir dia bilang lagi sama Fabian, kok jadi sama lo sih?"

Mendengar nama laki-laki itu disebut, telingaku langsung terasa panas, hatiku terasa terbakar. Nama itu seolah daun kering yang siap aku bakar kapanpun aku mau. Dulu aku biasa saja ketika mendengar nama itu disebut, namun kini aku tidak suka mendengar nama itu. Aku membenci laki-laki itu.

"Abis ini gue ke kontrakan lo, gue mau tahu Anya itu kenapa."

Aktifitasku terhenti ketika mendengar keinginan Cindy. Aku menatap kedua wanita yang sedang duduk di depanku itu secara bergantian. Anya tidak pernah bilang ke aku, apakah Cindy dan Bila harus tahu kejadian ini atau tidak. Kalau Anya tidak ingin kedua temannya itu tahu, berarti aku harus melarang keduanya menemui Anya.

"Nggak usahlah, tadi pagi pas gue mau ke kampus, dia bilang mau pulang ke Bekasi."

Mata Cindy menyipit menatapku, ekspresi Cindy sekarang mengingatkan aku pada ekspresi Spongebob ketika dia memergoki Squidward yang datang pagi-pagi ke Krusty Crab hanya karena ingin memakan krabby patty. Cindy sepertinya mencium bau kebohongan dalam wajahku.

"Lo nggak lagi nutup-nutupin sesuatu, 'kan Le?"

Aku menggeleng, sebisa mungkin aku mempertahankan tatapan mataku agar terfokus pada manik mata Cindy dan Bila, agar mereka mempercayai perkataanku.

"Lo temen gue, begitu juga dengan Anya. So, kalau ada sesuatu jangan sekali-kali menyembunyikan itu dari kami, Ale."

Bila mulai menasehati, dibanding Cindy dan aku, Anya dan Bila memang lebih 'perempuan', walaupun rambut kami sama-sama panjang. Kadang aku dan Cindy merasa seperti perempuan imitasi jika berdekatan dengan Bila atau Anya.

"Iya, Bila. Gue nggak akan nyembunyiin apapun dari lo pada."

Ketika Cindy ingin angkat bicara lagi, ponselku bergetar. Nama Anya terpampang dalam layar. Buru-buru aku mengangkat telpon itu dan meminta ijin kepada Cindy dan Bila untuk mengangkat panggilan.

Entah mengapa aku merasa tidak bisa berbagi cerita masalah Anya ini karena menurut aku, Anyalah yang pantas men-share cerita ini ke Bila dan Cindy.

Setelah dirasa cukup jauh dari jangkauan Cindy dan Bila. Aku mulai mengatakan halo, dan dijawab dengan isakan. Mendengar itu sontak membuatku panik. Pikiran-pikiran negatif itu mulai menekan benakku.

Apa Fabian datang menemui Anya?

"Ada apa Anya, kenapa kamu menangis? Siapa yang menyakiti kamu? Fabian? Katakan Anya!"

"Le, bisa pulang sekarang? Aku takut...."

Kembali aku mendengar suara kerapuhan itu, tanpa ingin menerka-nerka lagi, aku mengatakan pada Anya akan sampai disana sekitar dua puluh menit. Setelah itu aku memutuskan sambungan telepon. Dan berlari ke meja tempat aku duduk tadi.

Sesampainya di meja, Cindy dan Bila sudah memborbadirku dengan pertanyaan-pertanyaan yang semua intinya adalah menanyakan apa yang terjadi. Tanpa sempat menjawab pertanyaan mereka satu persatu, aku memutuskan untuk pamit.

"Untuk sekarang gue nggak bisa cerita, sorry banget. Ada urusan yang bener-bener urgent yang harus segera gue selesaikan. Next time, gue janji bakal cerita. Bye, guys."

Aku melambaikan tangan pada kedua manusia itu lalu berlari ke parkiran untuk menjemput si pitung.

Apa yang terjadi denganmu, Anya?

&&&&&


9+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang