Trimester Ke Dua

13.2K 1.3K 107
                                    

Selama trimester pertama memang Anya melaluinya dengan baik. Meski di minggu-minggu pertama kehamilannya, Anya pernah ingin menghilangkan bayinya. Aku mengerti dengan gejolak yang dihadapi Anya, karena mana ada wanita yang ingin mendapatkan musibah seperti Anya, pasti tidak ada, kan?

Selama trimester pertama, aku menjaga Anya dengan sebaik mungkin. Aku tidak mau Anya merasa terbebani dengan anak yang ada dikandungannya. Dan akhirnya, aku berhasil menjaga Anya.

Kian lama, aku kian yakin bahwa aku memang menyayangi Anya. Aku tidak menolak perasaan ini, aku juga tidak berusaha untuk menghilangkan perasaan ini. Aku membiarkan semua ini berjalan dengan sendirinya.

Dan yang aku tahu, Anya juga menyayangiku. Entah itu sebagai teman atau sebagai yang lainnya. Aku tidak peduli dengan hal itu, yang aku pedulikan hanyalah kenyataan bahwa hari-hariku selalu berwarna dengan kehadiran Anya dan bayi dalam kandungannya.

Kini Anya telah lebih bisa mencintai bayi dalam kandungannya. Aku senang akan hal itu. Terlebih lagi, sekarang aku sudah mendapat pekerjaan sebagai guru les disebuah bimbingan belajar.

Memang pekerjaan ini tidak pernah terbesit olehku. Bekerja sebagai guru les? Ah, tidak pernah terpikir! Namun aku senang dengan pekerjaanku, karena aku hanya akan meninggalkan Anya selama 4 jam, tidak kurang juga tidak lebih. Karena aku hanya mengajar 15 orang anak SMA. Untung aku unggul di bidang matematika.

Catering Anya kini juga mengalami perkembangan. Dalam sehari Anya bisa membuat 20 hingga 40 porsi ayam panggang saus teriyaki. Kini Anya juga tidak sendiri, dia ditemani oleh Bila.

Bila sengaja resign dari pekerjaannya karena dia tidak suka dengan teman satu kantornya. Jadi dia lebih memilih untuk membantu Anya, sedangkan Cindy, dia masih betah bekerja di perusahaan itu.

Aku senang karena Bila mau membantu, karena Anya memang membutuhkan teman, pasalnya Anya tidak boleh terlalu capek karena itu akan berdampak pada kandungannya.

Aku tidak pernah memikirkan hidup yang seperti ini. Aku tidak pernah membayangkan kalau akan tinggal satu rumah dengan Anya. Aku tidak tahu apakah Anya akan tetap bersamaku atau dia akan menemukan pelabuhan berikutnya. Aku tidak tahu, dan tidak mau menerka-nerka. Tapi mungkin saat waktu itu tiba, aku harus bisa tegar dan merelakan.

Ah memikirkan ini membuatku bersedih. Apa yang terjadi jika tidak ada Anya di sisiku?

&&&&&

"Hai, Ale. Sudah pulang?"

Setibanya aku di ruang santai, aku sudah disambut oleh senyuman dari Anya. Setiap aku pulang dari mengajar, Anya akan menungguku di ruang santai dengan senyuman yang terkembang.

Siapa yang tidak senang ketika lelah setelah pulang kerja lalu saat di rumah disambut dengan senyuman manis dari seorang yang kita sayangi?

"Iya, dan aku lelah sekarang."

Aku duduk disamping Anya, menaruh tas jinjingku ke atas meja, lalu melepas sepatu yang aku kenakan. Setelah itu menyandarkan kepalaku pada sandaran sofa. Anya bangkit dari duduknya, dia berjalan menuju ke dapur.

"Memang apa yang terjadi dengan anak didikmu?"

Aku menghela nafas, mengingat tingkah laku salah satu anak didikku yang nakal.

"Anak jaman sekarang sopan santunnya minus. Sama yang lebih tua aja ngelawan."

Anya kembali menghampiriku dengan dua gelas jus jeruk di kedua tangannya.

"Jonathan atau ada yang lainnya?"

Anya memberikan salah satu jus itu untukku. Aku menerimanya lalu berterimakasih. Sebelum menjawab pertanyaan Anya, aku meneguk jus jeruk itu hingga tersisa setengah gelas. Tenggorokanku terasa kering. Setelah itu Anya mengambil gelasku dan menaruhnya ke atas meja.

"Jonat lah, nggak ada orang se-nggak sopan dia. Kesel aku sama itu anak."

Anak bernama Jonathan itu memang sangat nakal. Saat semua anak menyenangiku, hanya Jonathanlah yang tidak suka denganku. Aku tidak tahu mengapa Jonathan sangat tidak menyukaiku.

Padahal aku rasa, cara mengajarku tidak membosankan juga tidak menyulitkan mereka. Sampai sekarang alasan dibalik sikap Jonathan masih menjadi misteri untukku.

"Yaudah, namanya juga anak masih belasan tahun pasti dia masih labil. Jangan terlalu dipikirkan."

Aku mengangguk, lalu tersenyum. Kian lama Anya kian lembut padaku. Dan aku senang akan hal itu.

"Baiklah Anyaku. Sekarang aku mau mandi dulu, gerah. Hari ini kamu masak apa untuk makan malam?"

Anya terlihat berpikir sejenak. Lalu dia tersenyum.

"Apa maksud dari senyumanmu, Anya?"

Anya menggeleng, "Bukan apa-apa, udah sana mandi dulu."

"Kan mulai deh anehnya. Yaudah aku mandi dulu ya."

Setelah berpamitan dengan Anya, aku pergi ke kamar mengambil baju dan handuk lalu pergi ke kamar mandi.

&&&&&

Setelah selesai mandi, aku menghampiri Anya yang sedang sibuk di dapur mempersiapkan makan malam. Anya berdiri di depan kompor sambil mengaduk-aduk isi wajan. Aku menghampiri Anya dan memberikan sebuah pelukan. Kedua tanganku bergerak untuk mengusap perut Anya, ini adalah caraku menyapa Anya junior didalam sana. Setelah itu aku memberikan kecupan di punggung Anya sembari masih memeluknya dari belakang.

Anya menoleh kearahku sejenak, lalu kembali mencicipi masakannya yang sepertinya sangat enak itu.

"Hmmm, makan malam sama apa kita hari ini?"

"Nasi goreng kari ayam."

"Yummy!"

"Udah sana duduk dulu, jangan menempel seperti ini. Macam ulet tau nggak."

Aku terkekeh, lalu melepas pelukanku. Aku duduk di meja makan, dan menunggu Anya menyiapkan semuanya. Setiap hari ketika Anya sedang berada didapur, ketika dia sedang masak. Disitulah letak kecantikan Anya yang sesungguhnya.

Anya memang tidak cocok menjadi seorang akuntan, wanita itu lebih cocok menjadi koki atau pemilik catering. Benar-benar wanita itu salah jurusan.

Setelah selesai mempersiapkan semuanya, kemudian Anya melepas celemek dan duduk satu meja denganku. Kami saling berhadapan, Anya mengambilkan aku nasi goreng kari ayam dan satu telur mata sapi yang kuningannya membulat sempurna.

"Terimakasih, Anya."

Anya mengangguk, lalu setelah selesai mengambil miliknya sendiri, aku memimpin doa untuk makan. Setelah selesai berdoa, kami makan dengan tenang.

Aku merasa seperti memiliki seorang istri jika sudah seperti ini. Akhir-akhir ini, Anya memang lebih manja, tidak jarang dia selalu memberiku kecupan, meski hanya di dahi, dipipi atau dibahu. Tapi aku merasa ada yang berbeda, entahlah. Aku menikmati ini.

"Kenapa melihatku seperti itu, Ale?"

Aku hanya tersenyum, lalu menggeleng.

"Nggakpapa kok, nasi goreng ini enak sekali. Mengingatkan aku dengan masakan Mama."

"Ohya? Jadi Mama kamu suka bikin nasi goreng kari ayam juga? Wah kapan-kapan ajak aku ke rumah kamu, Ale. Aku ingin mencicipi masakan Mama kamu."

"Baiklah, besok kapan-kapan aku akan mengajak kamu main ke rumahku."

"Sungguh?"

Aku mengangguk yakin. Lalu setelah itu kami menghabiskan waktu makan malam kami dengan bertukar cerita. Aku menceritakan tentang kegiatanku selama mengajar, sedangkan Anya menceritakan tentang cateringnya yang makin ramai.

Anya juga menceritakan keluh kesah Bila sewaktu dia berada di kantor, bagaimana Bosnya memperlakukan karyawannya, bagaimana teman sekantornya yang menyebalkan, dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak disukai Bila.

Kini Bila bisa tersenyum bahagia saat dia bisa keluar dan bekerja dengan Anya. Aku senang jika Anya bisa membantu Bila menemukan kesenangannya.

Anya,

Anya,

Anya.

Wanita itu memang istimewa. Kenapa aku bisa menjadikan Anya sebagai pusat gravitasiku?

&&&&&

9+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang