30 Weeks

12K 1.3K 95
                                    

Kalau minggu kemarin Mama aku yang datang ke rumah, sekarang giliran Tante Irene yang datang untuk berkunjung.

Sedari pagi, Tante Irene berbincang dengan Anya di ruang tamu, terpaksa aku harus memasak sarapan selain bubur ayam untuk bisa aku suguhkan ke Tante Irene.

Setelah selesai membuat nasi goreng kari, aku mengajak Anya dan Tante Irene sarapan. Tante Irene tidak banyak bicara ketika sedang makan, tidak seperti Mamaku. Jelas mereka adalah dua pribadi yang sangat bertolak belakang.

Selesai sarapan, aku mencuci semua perabotan kotor. Selama trimester ketiga ini, aku memang tidak memperbolehkan Anya melakukan banyak hal. Dia hanya aku perbolehkan sesekali memasak jika aku sudah bosan dengan masakanku sendiri.

"Kandungan kamu kan sudah hampir 8 bulan, kamu harus cari dokter anak yang terbaik, Nya. Ibu rekomendasiin Budhe Yaya, nanti kamu yang hubungin, ya?"

Selesai dengan urusan dapur, aku menghampiri Anya dan Tante Irene yang sedang berbincang di ruang santai. Tidak lupa aku membawakan minuman teh hangat untuk diseduh pagi ini.

"Budhe Yaya yang dimaksud itu Sara Wijaya bukan, Tan?"

"Loh kok kamu tau?"

Aku menaruh secangkir teh beserta tatakannya di atas meja untuk Tante Irene, Tante Irene tersenyum dan mengangguk. Itu tadi pasti maksudnya berterimakasih. Lalu aku duduk di samping Anya.

"Iya Tan, kebetulan itu temennya Mama."

Tante Irene meminum tehnya dengan anggun, dia sedikit terkejut ketika mengetahui kalau Budhe Yaya itu adalah teman Mamaku.

"Ohya? Itu temen Tante juga loh, Mama kamu kok bisa kenal?"

"Kalau itu saya nggak tau, Tante. Saya taunya udah temenan aja gitu."

"Oh Tante pikir kamu tau. Iya, itu temen Tante waktu masih SMA dulu. Coba deh nanti kamu hubungi, biar kalian itu ada pandangan tentang cara merawat anak yang baik itu seperti apa. Jangan sampai kalian melakukan kesalahan dalam hal mendidik anak."

"Iya Tante, nanti saya hubungi. Kasih aja nomernya ke Anya."

Lalu pagi itu kami membicarakan tentang pentingnya mendidik anak dengan baik. Tante Irene bercerita banyak tentang bagaimana suka dukanya mengandung, bagaimana perjuangannya melahirkan Anya dan Ello, dan bagaimana rindunya seorang ibu ketika anak-anaknya sudah mulai dewasa, dan sudah mulai memiliki kesibukan sendiri.

Tante Irene juga memberikan motivasi untuk Anya, supaya Anya tidak gugup saat melahirkan kelak.

Aku senang karena Tante Irene tidak membenci Anya walaupun anaknya sudah dinodai. Aku tidak tahu apakah Mamaku juga bisa menerimaku atau tidak jika aku yang berada diposisi Anya.

Hanya satu hal yang aku pahami, Mamaku itu adalah orang yang slengekan.

&&&&&

Setelah mengantarkan Tante Irene ke tempat temannya, aku dan Anya beristirahat sejenak di ruang santai. Kaki kami sama-sama ditopangkan pada meja, kepala kami sandarkan pada sandaran sofa.

"Besok kita harus ke rumah sakit, Nya. Kemarin Dokter Adit minta ketemu kamu setiap dua minggu sekali, 'kan?"

"Iya, Le. Tapi siangan aja ya? Paginya aku mau masak dulu."

Dahiku mengernyit, lalu menoleh menatap Anya, "Masak untuk apa? Ada pesanan?"

Anya ikut menoleh, tetapi kepala kami masih sama-sama bersandar pada sofa. Dia tersenyum, "Nggak ada pesanan kok, aku cuma pingin masakin kamu. Apa kamu tidak rindu masakan aku?"

9+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang