Prolog

13.2K 1.1K 93
                                    

Perjalanan tiga jam itu dihabiskan Regan untuk menatap pepohonan yang dilewati kereta yang dia tumpangi.

Hijau pepohonan membuatnya nyaman. Pagi ini hanya gerimis. Menambah syahdu pemandangan yang tercetak dari jendela. Bulir-bulir gerimis menempel dengan manisnya.

Sibuk menatap pepohonan yang berjalan, Regan tersadarkan oleh getaran ponsel di saku celana. Sebuah panggilan masuk.

“Halo, Dy.”

“Udah sampai mana?”

“Sampai sini.”

“Aku tanya serius!”

“Iya. Aku juga jawab serius ini.” Biarlah dia buat Ody jengkel. Mumpung mereka jauh. Jadi dia tidak akan kena omel atau serangan fisik seperti biasanya.

Regan berniat menjelaskan. “Aku ‘kan naik kereta. Jadi mana ngerti ini udah sampai ma—”

Tut tut tut. Telepon diputus Ody begitu saja.

Panggilan kedua masuk. Kali ini yang menelepon Riana.

“Mas teleponan sama siapa? Kok jaringan sibuk?”

“Ody tadi telepon.”

“Oh. Ini udah sampai mana, Mas?”

Bisa tidak tanya yang lain?

Tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Regan menjawab diplomatis. “Lagi lewat jembatan. Banyak pohon-pohon hijau di sekeliling.”

Tut tut tut. Telepon diputus sepihak oleh Riana.

   Ada apa dengan dua perempuan satu habitat itu?

Regan menatap ponselnya yang tidak salah apa-apa. Layarnya yang sudah gelap, tiba-tiba kembali menyala.

Panggilan masuk lagi. Regan sedikit lega karena yang menelepon Kiki.

“Lo udah sampai mana, Re?”

   Regan menghela napas. “Jadi jemput?”

“Maunya lo gimana, dijemput apa naik Gojek aja?”

Sebenarnya Regan tidak mau merepotkan Kiki. Tapi setelah dipertimbangkan lagi, lebih baik dijemput saja.

  Dengan agak geli, Regan menjawab sambil cengengesan. “Kalau lo nggak sibuk, boleh minta jemput aja? Daripada nyasar.”

“Gue udah di stasiun.” Kiki segera memutus panggilan sebelum kena omel.

Asdfghjkl.

   Regan ingin mengumpat. Namun segera dia telan kembali ketika ingat jika di bangku depannya ada seorang anak kecil.

Baru saja ingin menyimpan kembali ponselnya, benda pipih itu kembali bergetar.

Mama is calling…

Regan tetap memasukkan ponsel yang bergetar itu ke dalam saku celananya. Tetap bergeming pada panggilan ketiga.

Beri Regan waktu, setidaknya. Dia butuh waktu untuk menerima dirinya sendiri sebelum memaafkan mamanya.

Dan satu pertanyaan besar mulai membebani hatinya sejak beberapa hari lalu. Pernyataan itu bahkan menghimpit dadanya—membuatnya sesak.

Pertanyaan yang coba dia sangkal mati-matian.

Pertanyaan yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak.

Hingga dia memilih untuk mengubur pertanyaan itu di dasar hati.

  Dia hanya belum siap terluka untuk ke sekian kali dalam waktu dekat. Meski sudah sejak lama dia hancur.

Tapi sekarang dan beberapa hari ke depan, biarlah dia hidup normal seperti orang lain.

Meski suatu hari nanti pertanyaan itu akan menuntut jawaban.

***


Btw, lagu di mulmed wajib diplay yaa. Recommended bgt lagunya 😆

21/03/2018 10:26

J A R A K [2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang