17. Rumah Lama

5.8K 829 54
                                    

Sepulang dari restoran, Regan melajukan mobilnya menuju alamat yang tertera di kertas yang dia dapat dari Papa kemarin. Bertanya ke satu-dua orang, akhirnya Regan sampai di sebuah rumah yang masih berdiri kukuh. Meski cat di temboknya sudah mengelupas, termakan waktu.

Seraya menyandar di badan mobil, Regan termangu menatap rumah di depannya. Dia sama sekali tidak ingat tentang rumah ini. Satu pun, tidak ada yang dia ingat. Kecuali foto usang yang dia miliki. Dia yakin foto itu diambil di rumah ini.

Ponsel di saku celananya bergetar. Satu nama muncul di layar. Kali ini Regan ingin mengangkatnya.

“Halo, Ma?”

Mama di ujung telepon terdiam. Mungkin tidak percaya jika akhirnya Regan menerima panggilannya. Setelah semua penolakan selama satu tahun ini.

“Regan sehat-sehat, Nak?”

“Aku sehat, Ma.”

“Mama senang mendengarnya.”

“Ma ....” Regan menekuri aspal di bawah kakinya. “Aku ada di depan rumah lama kita.”

“Kamu kenapa ke sana?” Ada nada terkejut dalam suara Mama.

“Kalau aku tanya, apa Mama bisa menjawab? Apa Mama bisa ceritakan semuanya ke aku sekarang?”

“Re—”

“Mama nggak bisa?” simpulnya cepat.

“Bukan begitu. Tapi … maaf, Re, Mama nggak bisa.”

Tangannya yang memegang ponsel luruh begitu saja. Hatinya berkecamuk. Perasaan kecewa, sedih, marah, sendiri, seakan berlomba mencuat. Sebentuk perasaan itu tidak berwujud teriakan marah, tapi tangis yang pelan luruh dari sudut mata.

Tidak. Dia tidak akan menangis di sini. Setelah mengusap kasar pipinya, dia berbalik, bermaksud membuka pintu mobil ketika sebuah suara menginterupsi.

“Maaf, cari siapa?”

Regan menoleh. Di depan gerbang, berdiri seorang wanita paruh baya yang merapatkan jaket. Wajahnya bertanya-tanya.

“Saya cuma nyasar. Kalau begitu, permisi.”

“Tunggu sebentar ….” Wanita itu membuka pintu gerbang rumahnya. Melangkah menghampiri Regan.

“Bu Diana?”

Wanita ini mengenali mamanya? Bahkan masih ingat namanya.

“Kamu … Regan?” Wanita itu mendekap mulutnya tidak percaya. Tangis haru segera menguasai wajahnya. “MasyaaAllah, Regan!”

Regan diam saja ketika wanita itu memeluknya erat. Dia tidak ingat siapa wanita ini. Jadi dia memutuskan bertanya ketika pelukan lepas dari tubuhnya.

“Maaf, Tante siapa?”

“Tante, yang dulu sempat ikut merawat kamu kecil, Re.” Wanita itu menggamit kedua lengan Regan, mendongak, menatapnya penuh kerinduan.

Mereka duduk di kursi teras dengan penerangan lampu yang temaram. Duduk menghadap ke rumah lama Regan.

Regan menolak ketika Tante Indah—begitu namanya—menawarkan secangkir teh hangat. Akhirnya mereka duduk di sana, sebelum Tante Indah membuka suara.

“Kamu pasti tidak ingat, Re. Kamu masih terlalu kecil waktu itu. Sudah belasan tahun, dan Tante tidak tahu jika malam ini akan melihatmu di depan rumah. Seperti mimpi saja.”

“Maaf kalau aku lupa dengan Tante.”

Tante Indah menggeleng. Dia sandarkan punggungnya di kursi. “Bu Diana apa kabar, Re?”

J A R A K [2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang