31. Jarak

10.2K 1K 49
                                    

Empat tahun, dalam rindu dan kenang.

Kereta Bandung-Jakarta melaju kencang.

Musim liburan datang. Setiap gerbong kereta penuh sesak. Juga dipenuhi oleh gelak tawa keluarga yang sedang bergurau. Entah akan piknik ke mana. Setiap anggota keluarga kompak mengenakan baju berwarna senada. Wajah-wajah yang ceria.

Begitu kontras dengan wajah Regan yang tergugu di salah satu bangku. Menatap pemandangan di luar jendela dengan helaan napas yang berat. Sama seperti dulu. Empat tahun yang lalu.

Dulu, dia lari dari kenyataan. Sengaja lari dari Mama. Dan sekarang, dia lari dari apa pun yang tertinggal di Bandung. Dari lelaki yang seharusnya dipanggil Papa. Apakah dia pantas memanggilnya Papa? Sedangkan, orangnya saja tidak pernah ingin tahu keadaan Regan.

Kenapa yang bisa dia lakukan hanya terus berlari? Tidak bisakah dia berhenti dan menetap di satu rumah. Dia pikir, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran Mama. Tapi, ketika pada akhirnya, semua fakta terkuak, Regan tidak bisa apa-apa. Dia tidak tahu harus apa selain kembali lari.

Lari sampai dia bisa lupa dan lelah menyangkal segala masa lalu yang, Regan sendiri tidak tahu harus dia apakan. Memang, itu kesalahan di masa lalu. Sudah berlalu dan telanjur terjadi. Regan tidak bisa memilih lahir dari rahim siapa, pun keluarga mana. Seharusnya mudah menerima fakta dengan alasan di atas. Ini bukanlah kesalahan Regan. Sama sekali bukan.

Tapi, perasaan tidak diinginkan terus mengganggu. Terkadang membuatnya jijik pada dirinya sendiri.

Getaran ponsel membuyarkan lamunan. Suara kelewat ceria Adriana segera menyambut ketika Regan menempelkan ponsel ke telinga.

“Halo, Mas. Aku udah di stasiun!”

“Iya. Kamu udah sms, ‘kan?”

“Aku kira nggak dibaca. Ya udah deh aku telepon.”

“Kamu sendirian?”

“Hmm ... iya, sendiri. Emang berharap aku jemput bareng siapa?” Adriana cekikikan.

“Nggak. Siapa tahu kamu bawa pacar. Awas ya.”

“Dih, masih aja.”

“Udah ya. Aku tutup?”

“Bentar dong. Masih kangen, Mas.”

“Bentar lagi ‘kan ketemu.”

“Hm, ya udah deh. Mas jangan ngelamun di kereta, ya.”

“Emang kenapa?”

“Mas nggak takut kena gendam gitu?”

Regan terkekeh. Ada-ada saja pikiran Adriana.

Jadi, sepanjang sisa perjalanan itu, telinga Regan panas mendengarkan cerita-cerita Adriana yang tidak sabar menunggu Regan tiba di stasiun. Mulai dari kabar kedua orangtuanya sampai kegiatannya di kampus yang sibuk ikut banyak UKM. Regan senang mendengarnya. Adriana hidup dengan baik. Tanpa kurang satu pun.

Telepon ditutup dengan pesan Adriana. “Udah ya, Mas. Aku cerita banyak gini biar Mas nggak ngelamun di kereta.”

Dengan tertawa sumbang Regan menyimpan ponsel ke saku kemejanya.

Tiga puluh menit kemudian, kereta merapat ke stasiun. Regan berdiri, menyandang ransel hitam dan menarik koper dari bagasi atas. Dia memilih turun terakhir dan membiarkan yang lain turun lebih dulu.

Barulah ketika gerbong kereta sudah lengang, Regan melangkah turun. Dia mengedarkan pandangan, mencari keberadaan adiknya di antara para penjemput yang memenuhi ruang tunggu sambil terus melangkah meninggalkan peron.

Regan bersiap menelepon Adriana ketika sudut matanya menangkap satu sosok yang berdiri di antara para penjemput.

   Tiba-tiba saja mereka sudah berdiri berhadapan lurus. Terpisahkan jarak empat langkah. Lalu-lalang orang tidak menjadi penghalang untuk tidak mengenali satu sama lain. Meski, yang berdiri di depannya, sangat berbeda dengan yang terakhir dia lihat.

“Ody?”

“Aku hanya menepati janjiku, Re.”

“Seharusnya ....”

“Iya, seharusnya Adriana yang jemput.”

“Bukan gitu, maksudku—”

“Gimana kabar kamu?” Lihat, perempuan itu bahkan masih sudi bertanya kabar.

   Kabar? Regan tidak tahu harus menjawab bagaimana. Secara fisik, dia baik-baik saja. Tapi hatinya, sudah remuk lama. Dia hanya raga kosong yang berjalan. Yang mungkin sepanjang sisa perjalanan nanti akan terempas angin, didera hujan badai.

Tiba-tiba ada yang menabrak Regan dari sisi kanan. “Mas, kangen!!!”

Ody masih menatap Regan, tidak terganggu dengan kehadiran Adriana yang heboh. Menunggu jawaban.

“Baik, Dy.” Regan ragu bertanya balik. Atau mungkin tidak pantas bertanya setelah apa yang dia lakukan ke perempuan itu.

Kini Adriana bergelayut manja setelah dengan heboh juga menyapa Ody. Benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi di antara Regan dan Ody. Dia juga tidak tahu apa yang Regan alami di Bandung.

   Tentang fakta-fakta itu. Dia hanya ingin menyimpannya sendiri. Bahkan Ody. Dia tidak ingin membebani perempuan itu lagi. Cukup dirinya saja yang hancur sendirian. Ody punya kehidupan sendiri, juga masa depan yang harus dia kejar.

Dari tatap mereka, Ody tahu. Semuanya memang sudah berubah. Tidak ada yang sama lagi. Bahkan tatapan yang diberikan lelaki itu nyaris tidak dia kenali lagi. Inikah Regan yang dulu? Yang empat tahun lalu dia lepas di tempat yang sama? Dan kali ini, dia di sini. Menepati janjinya untuk menunggu. Ya, hanya sebatas menunggu. Setelah ini, Ody mungkin akan menjauh. Seperti yang diinginkan lelaki itu. Menjauh, seperti yang mereka lakukan dua tahun belakangan.

Memutus tatapan Ody, Regan membalas pelukan Adriana. Tapi dari sudut matanya, dia tidak bisa melepas Ody yang masih berdiri di tempatnya.

Sama halnya dengan Ody, dia juga paham. Bahwa semuanya memang sudah berubah. Bukan karena jarak yang terbentang dua kota. Tapi karena Regan yang sengaja memilih menjauh. Bahkan memaksa Ody untuk menjauh juga. Empat tahun bukanlah waktu sebentar. Banyak hal yang terjadi di luar kendali mereka. Yang mereka lakukan hanyalah saling membungkam hati kecil yang ingin duduk bersama, meluruskan banyak hal.

Memberi kesempatan sekali lagi. Untuk sebentuk kata maaf. Untuk penjelasan-penjelasan yang ingin didengar. Untuk bahu yang ingin ditawarkan lagi. Semuanya. Untuk menebus waktu-waktu yang hilang dari mereka.

Tapi, pada akhirnya, mereka menyerahkan pada waktu. Atas banyak hal yang mungkin tidak bisa mereka lalui bersama lagi. Setelah ini, besok dan seterusnya, melupakan adalah cara terbaik.

Aku sudah di sini. Pulang.

  Kita begitu dekat.

  Tidak jauh seperti kemarin-kemarin.

  Begitu dekat,

  Tapi aku merasa kehilangan, Dy.

  Sudah sejauh mana jarak yang kubuat?

  Sudah sedalam mana jurang yang kucipta?

  Kamu tidak lagi menatapku cemas.

  Apakah aku sudah kehilanganmu?

  Ody ... apakah aku sudah benar-benar kehilanganmu?

***

Diketik: 04/11/2018
Dipost: 13/11/2018

J A R A K [2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang