11. Aku Ada

5.8K 916 137
                                    


Tiga puluh menit sebelum azan Subuh berkumandang di masjid ujung jalan.

Regan masih terjaga. Dia menatap langit-langit kamar dengan kosong. Kiki yang masih nyenyak, tiba-tiba menarik selimutnya lebih tinggi.

Hampir seminggu dan Regan gagal melenyapkan pertanyaan yang menghantuinya.

Seminggu ini, Regan juga seperti menarik diri dari semua orang. Dia mendadak lebih pendiam. Jika biasanya dia masih menanggapi ocehan Kiki. Maka setiap Kiki mulai membuka mulut, Regan hanya menatap datar.

Dan beruntungnya Kiki sedikit paham kalau Regan sedang aneh.

Regan bangkit dari kasur. Ody yang biasanya tidur di ujung kasurnya, kini berpindah ke kasur Kiki.

Ody!

Regan meraih ponselnya. Mengusap layar hingga benda pipih itu menyala. Akhir-akhir ini dia juga menarik diri dari Ody.

Tapi mendadak Regan ingin mendengar suara Ody. Dia mendial angka dua. Tempat nomor Ody berada.

Seakan baru tersadar, Regan langsung mematikan panggilan itu. Ody mungkin masih tidur dan dia takut mengganggu.

Regan baru akan meletakkan ponselnya ketika layar hitam itu berkedip. Lalu nama Ody tertera di layar.

Regan masih menimbang. Apakah harus dia angkat atau abaikan saja?

Setelah mendengar suara Ody, Regan tidak bisa jamin kalau dia tidak akan bercerita banyak.

Panggilan pertama dari Ody berhenti. Memunculkan notifikasi satu panggilan tidak terjawab.

Regan salah jika menganggap Ody menyerah. Karena layar ponselnya memunculkan nama Ody kembali.

Kali ini, Regan memutuskan untuk mengangkatnya.

Hening. Di seberang sana Ody tidak menyapa. Regan juga terdiam. Tidak mungkin Ody sedang mengigau dengan menelepon dua kali, ‘kan?

“Halo, Re.”

Ody akhirnya bersuara.

“Maaf tadi kepencet.” Regan berbohong.

“Maaf barusan juga kepencet telepon kamu dua kali.” Terdengar suara tawa pelan di ujung sana.

“Aku ganggu kamu?”

“Ganggu.”

“Ya udah. Aku tutup ya.”

“Bercanda. Satu bulan kamu nggak pulang. Sehat-sehat, ‘kan?”

“Sehat, Dy. Kamu sendiri gimana?”

“Aku baik. Nggak ada kabar spesial dari aku.”

“Kabar Ari gimana?”

Ody terdiam lama sebelum menjawab. “Aku sekali lagi bilang ke dia kalau aku cinta kamu, Re. Tapi dasarnya bebal. Tetap aja nggak mau mundur dia.”

Regan tidak marah. Dia yakin Ari tidak akan salah paham lagi. Kalau Ari salah sangka lagi, pasti sudah menyambanginya ke Bandung dan mengamuk.

Ya, pasti suatu hari nanti Ari akan meledak. Selama ini Ari hanya terlalu pintar menyembunyikan amarahnya.

“Kabar kamu gimana, Re?” Ody mengulangi pertanyaannya.

“Tadi ‘kan udah aku jaw—”

“Aku tanya kabar yang lain. Aku udah tahu kamu sehat.”

Regan akhirnya mengerti maksud Ody. Tapi dia mengalihkan. “Aku baik-baik aja. Kabar baiknya, aku dekat sama mamanya Gita, Dy. Aku suka nggak tahu diri minta sarapan ke beliau. Nggak hanya sekali, tapi beberapa kali. Kiki udah ngatain aku nggak punya malu.”

J A R A K [2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang