15. Percakapan di Anak Tangga

5.7K 927 76
                                    


  Gerimis turun perlahan mengguyur kota Kembang.

Rintik hujan memenuhi dinding kaca. Samar terdengar lagu Banda Neira di lantai bawah. Membuat suasana kian sendu.

Badai tuan telah berlalu

Salahkah kumenuntut mesra?

Tiap pagi menjelang

Kau di sampingku

Kuaman berada bersamamu

Selamanya …

Duduklah di sana dua orang yang lama tak bertemu. Satu dengan rasa buncah di dada. Satu yang lain dengan kecamuk perasaan yang lain.

Semesta tahu keduanya saling merindu dalam diam.

Lima menit yang lalu, ketika rombongan keluarga Ody meninggalkan restoran, Regan menahan lengan Ody. Setelah sebelumnya dia meminta waktu ke Mas Bowo.

Regan menggosok kedua telapak tangannya, tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Dan entah kenapa dia mendadak bisu.

Semenit lagi berlalu, Ody justru terbuai menatap dinding kaca yang basah. Bulir air yang menempel bergerak turun.

“Calonnya Bang Kinan cantik.” Regan bersuara, menarik perhatian Ody dari dinding kaca.

“Ngerti juga kamu sama perempuan cantik.”

“Kiki yang ngajarin.”

Ody tertawa kecil. Lalu mulai bercerita. “Namanya sama dengan wajahnya. Anggun. Ternyata mereka temenan pas SMP. Mereka ketemu di reuni. Mas Kinan bilang mereka sama-sama nyari pasangan hidup, bukan lagi main-main.”

“Rencana mereka nikah kapan?” Regan tersenyum mendengar cerita singkat itu. Dia ikut bahagia.

“Lima bulan lagi.”

“Nggak kelamaan?”

“Nunggu cicilan rumah Mas Kinan lunas, katanya.” Ody tertawa lagi.

“Kakakmu memang keren, Dy. Aku jadi terinspirasi.”

“Terinspirasi mau nikah?”

“Bukan. Tapi sebelum nikah, aku harus mapan.”

Ody memperbaiki posisi duduknya. “Kenapa? Kamu bukan penganut prinsip berjuang bersama?”

“Bukan.” Regan menoleh, matanya bersitatap dengan Ody. “Nanti, ketika aku meminta seorang perempuan untuk bersamaku, aku ingin dia bahagia. Aku ingin dia hidup cukup. Aku nggak mau dia ikut menderita.”

“Kenapa? Sebagian perempuan di luar sana mau kok diajak hidup susah. Mereka nggak masalah belanja di pasar, pakai baju diskonan, beli lipstik super murah.” Ody cepat menyanggah.

   “Aku nggak bermaksud mendiskreditkan prinsip berjuang bersama, justru dengan melalui banyak hal menyakitkan, sebuah hubungan akan semakit solid. Mereka punya fondasi kuat.” Regan tampak menimbang sesuatu. “Tapi aku harus memantaskan diri sebelum melamar anak gadis orang.”

   Regan masih melanjutkan. “Anak gadis itu … yang dibesarkan oleh orang tuanya dengan kasih sayang, dengan materi yang berkecukupan. Aku malu jika memintanya untuk diajak susah.”

   “Di dunia ini nggak melulu tentang materi, Re.” Ody kembali keberatan.

   “Aku lelaki, Dy. Wajar kalau cara berpikir kita berbeda.”

“Ini alasan kamu kerja?”

“Bukan. Aku kerja buat nabung.”

Ody tidak bertanya lebih lanjut. Dia cukup menarik kesimpulan sendiri. Regan bekerja keras, bahkan di dua tempat sekaligus. Pastilah tabungan itu sesuatu yang sedang Regan rencanakan.

Tiba-tiba Ody tertawa. “Jadi kamu udah mau nikah nih?”

Tawa itu menular ke Regan sekarang. “Heh! Enak aja. Baru semester awal ini. Masih lama kalau mau ngelamar anak orang.”

“Tapi barusan kamu ngomongin soal prinsip melamar serius banget.”

“Haha, saking bahagianya dengar Bang Kinan mau nikah.”

Gerimis berganti hujan. Regan tadi meminta izin lima belas menit. Tinggal tiga menit waktu yang tersisa.

“Kamu apa kabar, Dy?” Regan sampai di pertanyaan inti. Dia sengaja menahan lengan Ody tadi karena ingin mengobrol sebentar.

Dia rindu duduk bersama dengan Ody, mengobrol banyak hal.

“Pasti banyak ya anak kampus yang naksir kamu?” Regan menebak ketika Ody tak kunjung menjawab.

“Nggak kebalik? Kamu lagi nyindir diri sendiri?”

Regan menggeleng, pura-pura sedih. “Aku nggak punya waktu buat tebar pesona di kampus, Dy.”

“Nggak usah tebar pesona, udah banyak yang suka, ‘kan?” Ody menyeringai.

“Ada satu yang nggak suka.”

“Siapa?”

“Kamu.” Regan tertawa. “Dulu, aku kayak hama buat kamu ya. Kamu selalu pasang wajah jutek. Kalau ketemu di minimarket Bang Iyan, kamu pura-pura nggak kenal. Kalau ingat kena gebuk minyak goreng satu liter, jadi pengin ketawa.”

“Eh iya, nasib ikan dari aku gimana?”

“Aku titipin ke Adriana.”

Gantian Ody yang mengenang. “Ngejar bus, dihukum Bu Ida, lari keliling lapangan, aku jatuh di genangan air. Makan di balkon kamar kamu. Tiga surat dari Adriana. Senja di pantai. Hujan ….” Terima kasih, karena kita pernah tertawa dan menangis bersama.

“Lihat kamu ngejar bus, teriak-teriak manggil Pak Sopir minta ditunggu, nggak tahu kenapa aku bahagia.”

“Bahagianya lihat aku menderita.”

“Aku jadi sedikit menyesal.”

Ody terkejut. “Menyesal?”

“Kenapa kita baru dekat ketika pas kelas dua belas. Kenapa nggak dari kecil?”

“Ehm. Maaf ganggu nih. Taksi pesanan kau sudah datang, Gan.” Mas Bowo menginterupsi dari bawah tangga.

“Oh iya, makasih, Mas.” Karena sadar tidak bisa mengantar Ody kembali ke hotel, sebelum mengajak Ody duduk mengobrol, dia sudah memesan satu taksi.

Mas Bowo berkedip dan berlalu.

Ody kemudian bangkit, mengikuti Regan. Percakapan mereka berhenti di sana.

“Rencana mau berapa hari di sini?” Mereka sampai di depan, Regan sedang mengembangkan payung hitam besar.

“Sampai besok sore. Kenapa?”

Entah sampai besok atau lusa pun, Regan tetap saja tidak punya waktu luang.

“Nggak apa-apa. Hati-hati.” Tangannya kalah cepat dengan gerakan tangan Ody yang membuka pintu taksi.

Regan tersenyum. Dia sempat lupa kalau Ody tidak suka diperlakukan seperti putri-putri.

Sebelum melangkah masuk ke dalam taksi, Regan memeluk singkat bahu Ody dengan satu tangannya yang tidak memegang payung.

Sepanjang duduk di dalam taksi, Ody tidak berhenti tersenyum.

Pertemuan singkat itu membawa dampak cukup besar.

Percakapan mereka cukup untuk membunuh rindu-rindu yang gagal Ody bujuk.

***

Ini draft terakhir yang kutulis sebelum puasa. Bab selanjutnya masih kosong. Udah bikin outline sih, tp pengin ngetik yg lain dulu. Gaya banget ya aku 😂

J A R A K [2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang