21. Mimpi Buruk

6K 866 66
                                    

Jalanan Jakarta-Bandung basah oleh gerimis yang turun beberapa menit yang lalu. Tapi bukannya menurunkan kecepatan, Regan justru memacu mobilnya dengan kecepatan maksimal. Kiki yang duduk di sampingnya sampai menggigil dan berkomat-kamit membaca doa. Dia sudah lelah berteriak agar Regan tenang dan mengemudi seperti orang normal. Tapi dia tahu, Regan sedang tidak bisa diajak bicara.

Satu jam yang lalu, ketika Kiki menikmati semur daging dengan khidmat, Regan baru saja akan menyuap sendok pertama, satu panggilan masuk ke ponselnya. Satu panggilan yang mampu membuat Regan meninggalkan pesta Kinan dan menarik Kiki pulang. Mereka bahkan lupa berpamitan pada sang empu pesta. Tidak menjawab juga ketika Ari, Adit dan Rana bertanya bingung.

Re … mama masuk rumah sakit. Aku takut …

Suara bergetar Gita masih mengiang di kepala Regan. Jika saja bisa, dia ingin terus memacu mobilnya sampai batas maksimal. Wajah Tante Dewi terus membayang. Wajah dengan senyum hangat yang dia jumpai setiap hari. Regan kalap. Dia semakin menekan gas kuat-kuat. Mengabaikan klakson-klakson yang seakan meneriaki karena Regan menyalip seenaknya.

Maka yang dilakukan Kiki hanyalah menambah doa. Sebelum gila-gilaan memacu mobil seperti ini, Regan bilang kalau Tante Dewi masuk rumah sakit. Hanya itu. Kiki bertanya lebih lanjut, tapi tidak dijawab. Oke, dia paham kalau situasinya darurat. Tapi sedarurat apa? Tante Dewi sakit apa? Atau mungkin kecelakaan?

Memasuki kawasan Bandung, gerimis mereda. Mobil Regan memasuki halaman sebuah rumah sakit besar di sana. Dia berhenti persis di depan ruang IGD. Melepas sabuk pengaman dan meninggalkan bangku kemudi begitu saja. Kiki tidak mengumpat, dia berpindah ke bangku kemudi dan melajukan mobil menuju parkiran sebelum kena tegur.

Dengan panik, Regan menyusuri lorong IGD yang tampak ramai oleh lalu-lalang perawat dan tenaga medis yang lain. Dia berhenti, matanya memindai sekitar. Kakinya segera melangkah ketika menemukan sosok yang dia cari tergugu di sudut kursi panjang.

Mendengar langkah kaki mendekat, Gita mendongak. Air matanya kembali pecah melihat Regan datang. Dia sudah menangis sejak tadi, ketika dokter dengan hati-hati menjelaskan kondisi mamanya. Dia bahkan belum berani menemui mamanya yang terbaring di salah satu bangkar di IGD.

Gita berdiri, menghambur ke arah Regan. Tangisannya berubah kencang. Tanpa sadar air mata juga luruh di pipi Regan. Dia menepuk-nepuk lembut punggung Gita. Tidak ada kalimat penenang yang mampu keluar dari mulutnya.

“Dokter bilang apa?” Regan melepas pelukan Gita, berganti menggamit kedua lengan perempuan itu.

“Mama gagal jantung.” Suaranya tercekat. “Harus operasi transplantasi jantung secepatnya.”

Regan terkesiap. Mencoba menelaah di tengah keterkejutannya. “Ada yang cocok?”

Gita mengangguk, namun ada keraguan di sana. “Ada serangkaian tes sebelum transplantasi.”

   Entah bagaimana Regan tahu apa yang dipikirkan perempuan itu. “Jangan pikirkan soal biaya. Kamu percayakan sama aku. Yang penting, mamamu harus selamat.”

“Jumlahnya nggak kecil, Re. Aku nggak mau bebani kamu apa-apa. Tapi kalau aku bisa minta tolong ….” Gita membuka ritsleting tasnya, mengeluarkan sebuah kunci dari sana. “Aku minta tolong sama kamu, carikan pembeli untuk rumah kami.” Dia sudah memikirkan solusi terbaik. Dan mereka hanya punya rumah itu. Tidak ada pilihan lain. Hidup mengajarkannya untuk membuat keputusan dengan cepat.

Regan menatap tangan yang gemetar mengulurkan kunci.

“Terserah berapa pun, aku percaya sama kamu.”

“Berapa biaya operasinya?”

“Dokter bilang sekitar dua ratus juta.”

Kiki tergopoh-gopoh datang. “Tante Dewi kenapa, Git?”

J A R A K [2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang