"Ini rumah siapa?"
Kiki memutar kunci sambil menjawab. "Ini rumah Eyang gue. Udah almarhumah, sih. Tapi kalau lebaran biasanya ramai, buat kumpul keluarga besar."
Regan duduk di salah satu kursi rotan di teras. Matanya memindai sudut halaman depan rumah. Lalu menatap langit-langit di atasnya.
Rumah ini tergolong tua dengan cat dinding yang mengelupas di sana-sini. Rumah yang cukup besar-mungkin karena itulah halaman rumah tampak lebih sempit.
Jalanan di depan rumah merupakan jalan utama kompleks. Untung saja. Sehingga rumah ini tidak terkesan menyeramkan. Meski Regan tidak akan keberatan juga kalau misal rumah ini berhantu.
"Rusak lagi nih pasti," keluh Kiki.
"Nggak bisa?" Regan sekarang menatap tangan Kiki yang sedang berusaha memutar kunci di lubang pintu.
"Tadi pagi juga gini. Gue kekunci di dalam malah."
"Terus lo keluarnya gimana?"
"Lewat jendela belakang lo."
Regan menoleh ke jendela kaca di belakangnya. Lalu berdiri dan merebut kunci dari tangan Kiki. "Sini gue coba."
Dalam sekali coba, pintu terbuka. Kiki takjub dan bertepuk tangan. "Lo bakat jadi penerus Pak Tarno, Re. Serius!"
Regan tidak tertawa. Pertama, itu tidak lucu. Kedua, gagang pintu itu menyangkut di tangannya alias lepas dari tempatnya.
Kiki yang baru menyadarinya langsung memekik.
"Nanti gue benerin. Istirahat bentar, gue capek."
Kiki tidak marah. Dia berbaik hati menyeret koper Regan masuk ke dalam rumah. Sementara sang empunya sudah merebahkan diri di atas sofa ruang tamu-sudah menganggap sebagai rumah sendiri tanpa perlu disuruh.
Regan lagi-lagi mengamati isi ruangan dan langit-langit. Refleks saja. Apalagi dalam empat tahun ke depan, dia akan menumpang di rumah ini.
Regan sama sekali tidak menyentuh uang yang diberikan Mama. Dia beruntung mendapat beasiswa di Bandung. Dia juga tidak perlu kos. Beruntungnya lagi, Kiki juga kuliah di sini. Kiki tidak keberatan kalau dia ikut menumpang. Justru sebaliknya. Kiki yang lumayan takut tinggal sendirian di sini, merasa senang ketika Regan bergabung.
Lagipula rumah ini strategis. Dekat dengan kampus Kiki, dekat juga dengan kampus Regan-mereka berbeda kampus.
Alasan Kiki ketika ditanya kenapa pilih kuliah di Bandung, alasannya aneh tapi masih bisalah diterima nalar. Katanya kemarin begini. "Gue di rumah tertindas. Dilarang ke mana-mana, harus ikut acaranya Mami. Gue udah kayak burung di sangkar berlian. Setiap Mami arisan sosialita, gue diajak. Dipamerin ke teman-temannya. Diperjual-belikan gue."
Tunggu. Biar Regan jelaskan. Itu tidak seperti yang kalian pikirkan.
Maksudnya, Kiki itu lumayan ganteng. Regan saja sebagai lelaki mengakui hal itu. Makanya dia selalu diajak ke arisan sosialita. Dijodoh-jodohkan dengan anak teman-temannya. Kalau tidak cocok, ganti ke anak teman yang lain. Begitu terus sampai kemarin.
Regan juga tidak tahu kenapa Kiki masih tidak punya pacar sampai sekarang.
Dia jadi sadar, kalau selama ini hidupnya dikelilingi oleh jomblo-jomblo berdikari.
"Re, lo nggak apa-apa 'kan sekamar berdua?" Kiki berteriak dari dalam kamar.
"Hah?" Regan bangkit dari posisi tidurannya, dan melangkah ke sumber suara.
"Lo nggak apa-apa tidur sekamar berdua?" Kiki mengulangi.
Regan menatap kamar luas yang di kedua sisi terdapat tempat tidur berukuran sedang.
KAMU SEDANG MEMBACA
J A R A K [2] ✓
Romance#2 Long Way to Home [young adult] Regan masih mencari. Dalam perjalanannya, kali ini dia hanya sendiri. Tanpa Ody yang menemani. Ody akan menunggu, ketika Regan bilang ingin ditunggu. Meski dia tidak lagi bisa menemani. Tapi dia akan menunggu. Kali...