Malam sudah larut. Untuk yang kesekian, Regan duduk menunggu di halte. Akhir-akhir ini dia bisa bernapas lega. Keadaan Tante Dewi membaik pasca operasi. Tidak perlu ada yang Regan cemaskan. Sepulang dari restoran, biasanya dia mampir ke rumah sakit. Kadang ikut tidur di sana-turut menjaga Tante Dewi yang belum keluar dari ruang ICU. Dokter bilang, setelah 1-3 minggu tidak ada tanda-tanda penolakan organ baru, maka Tante Dewi diizinkan pulang. Kabar yang sungguh melegakan.
Tapi ada satu hal yang dia lupakan akhir-akhir ini. Yang kali ini, pada akhirnya terlintas di pikirannya. Enggan pergi. Memaksa Regan mengeluarkan dompet dari saku celana bagian belakang. Membuka lipatannya dan mengeluarkan satu kertas tebal dari salah satu sisi. Kartu nama yang sempat dia lupakan beberapa bulan ini.
Gerimis turun tiba-tiba. Seingat Regan, seharian ini tidak mendung. Tapi dia tidak peduli. Kertas tebal itu sepenuhnya menyita perhatiannya. Pada sederet nama itu, dia membujuk hatinya untuk tidak ingin mencari. Atau, berhenti mencari. Lalu dia akan mencoba melupakan segalanya.
Bisa saja, orang yang namanya tertera di kartu nama sudah bahagia dengan keluarganya sendiri. Sama halnya ketika Regan mencari Papa Ardi dulu. Dia mempertimbangkan banyak hal. Ketakutan-ketakutan yang membuatnya urung mencari.
Kali ini saja, Regan ingin berhenti dan tidak ingin mencari. Biarlah hidupnya seperti ini. Tapi, sisi hatinya yang lain berkata sebaliknya. Untuk menggenapi pertanyaan yang mengakar di hati, dia harus menemukan jawaban. Memang bisa, pura-pura lupa dan terus melanjutkan hidup? Apakah malam-malam senyap itu tidak akan datang lagi?
Regan menatap kosong pada rintik air yang jatuh dari atap halte. Pertanyaan yang kemarin berhasil dia kubur, kini kembali mencuat. Memenuhi setiap sudut hatinya. Bagaimanalah dia harus membujuk hatinya?
Sebuah bus kosong merapat. Regan berdiri dan menempelkan ponsel di telinga setelah mendial nomor dua. Begitu dia duduk di salah satu bangku dekat jendela, teleponnya diangkat.
"Kamu di mana?" Dengan suara serak.
"Bandung." Dia merindukan suara yang seharian ini belum dia dengar.
"Jangan ngajak berantem, ya."
"Bandung hujan, Dy."
"Hmm."
Dia hanya iseng menelepon Ody. Sepertinya mengganggu perempuan itu, yang mungkin sedang lelap-lelapnya.
"Jakarta nggak hujan."
"Iya."
"Ya udah."
"Maaf ganggu, ya."
"Nggak kok." Suaranya semakin tenggelam.
Regan menoleh. Menatap rintik yang menempel manis di jendela. Sama seperti biasanya, dia akan mendengar dengkur halus dari seberang sana. Regan tidak tahu sesibuk apa Ody sekarang.
Lalu, seperti yang sudah-sudah, dia akan bermonolog. "Dy, aku ambil sebuah keputusan. Aku nggak tahu apa yang bakal aku lakukan ini benar atau salah. Tapi, aku butuh jawaban. Entah akan melegakan atau justru menyakitkan. Kalau pun menyakitkan, sama seperti yang banyak orang bilang. Nanti, aku tidak akan sendirian, 'kan, Dy? Kamu ada, 'kan?"
Kalimat yang menguap di langit-langit bus. Di jalanan kota yang basah.
Yang selalu diakhiri dengan, "Mimpi indah, Dy."
***
Restoran sedang ramai. Jam makan siang. Regan melupakan rasa kantuknya, berusaha bekerja semaksimal mungkin. Meski sesekali dia berbalik untuk menguap. Regan akrab dengan insomnia. Tapi kali ini rasa kantuk itu benar-benar tidak bisa diajak kompromi.
KAMU SEDANG MEMBACA
J A R A K [2] ✓
Romance#2 Long Way to Home [young adult] Regan masih mencari. Dalam perjalanannya, kali ini dia hanya sendiri. Tanpa Ody yang menemani. Ody akan menunggu, ketika Regan bilang ingin ditunggu. Meski dia tidak lagi bisa menemani. Tapi dia akan menunggu. Kali...