Di antara banyaknya cahaya di kota Bandung, bangunan itu terlihat lebih berkilau. Beberapa mobil mulai memasuki halaman gedung. Tamu yang datang bukan hanya dari kalangan kolega atau teman dekat. Datang juga beberapa wartawan, entah media cetak atau televisi. Ketika Regan mendekat, teras depan gedung sudah dihujani blitz kamera. Dua orang berdiri di tengah-tengah. Menghadap ke berbagai sisi untuk menyapa kamera.
Regan tidak berusaha bergerak maju. Berdiri pasrah di dekat lelaki berpakaian formal. Yang sepertinya sabar menunggu sesi pembukaan.
Meski berdiri jauh di belakang, sesekali dia bisa menangkap wajah itu. Sedang tersenyum lebar. Apakah galeri ini membuatnya sangat bahagia? Apa galeri menjadi satu dari sekian mimpi yang ingin dicapai? Lalu ... lalu bagaimana kalau Regan datang membawa masa lalu ke hadapan lelaki itu? Apakah lelaki itu bersedia mundur sedikit ke belakang, mengingat apa yang pernah terjadi. Membuka lembar lama yang mungkin sudah dilupakan.
Masa lalu sudah berlalu, dia di belakang kita. Seharusnya kita melangkah maju, jangan menoleh. Kita hidup untuk hari ini dan besok.
Tapi Regan tidak. Separuh hidupnya ada di masa lalu. Di sudut yang senyap. Menunggu jawaban. Menunggu penjelasan, yang mungkin hanya bentuk pembenaran-pembenaran dari orang-orang dewasa. Tapi, dia tidak tahu. Setelah mendapat jawaban, apakah separuh hatinya mau meninggalkan sudut itu?
Atau akan terus bertahan di sana? Enggan membuat kenangan baru. Telanjur nyaman dalam senyap itu. Atau ... karena tidak ingin terluka lagi? Regan tidak tahu sekarang yang bicara hati atau logikanya. Dia tidak bisa membedakan lagi.
Sesi di teras depan selesai. Namun blitz kamera terus mengerjap seiring dengan pintu yang terbuka. Orang-orang mulai bergerak maju. Ingin cepat-cepat melihat isi galeri.
Berbeda dengan pengunjung lain yang mengabsen satu per satu lukisan di dalam galeri yang luas ini. Regan memilih berhenti di satu lukisan. Dia menatap lama lukisan sosok Ibu di depannya. Gambaran sosok yang begitu sederhana tergores di kanvas yang sudah berbingkai itu. Wajahnya yang renta penuh kerutan, memiliki tatapan hangat. Tatapan yang dimiliki oleh setiap Ibu. Salah dua anak rambut di bagian depan mencuat, sudah memutih. Ada bahagia yang coba dipaksa hadir di sana. Tapi gurat sedih tetaplah mendominasi wajah itu. Ada sebingkai foto dalam dekapan. Tentang Ibu yang merelakan kepergian anak lelakinya. Entah pergi karena dipanggil Tuhan. Atau pergi karena terlalu mencintai cinta keduanya. Banyak yang bilang seperti ini; untuk anak lelaki, Ibu adalah cinta pertamanya.
Tepukan terasa di pundaknya. Regan menoleh. Lalu mengernyit melihat orang berpakaian batik mengatakan, “Anda ditunggu Pak Arman. Ruang kedua di dekat tangga.”
Dengan tanda tanya besar, Regan menuju ke ruangan yang dimaksud. Jantungnya berdebar. Bahkan ketika mengetukkan tangan di pintu. Sejujurnya, dia gemetar.
Dia akan bertemu dengan ayah kandungnya. Sosok yang selama ini menghilang dari hidupnya. Yang menurunkan bakat melukis padanya. Seperti apa sosok itu dari dekat?
Pintu berkerit terbuka. Pendingin ruangan tiba-tiba mencekiknya. Lelaki itu sudah duduk di kursi, yang letaknya jauh dari pintu.
Regan masih mematung di dekat pintu. Menunggu reaksi lelaki itu. Sekaligus meyakinkan diri sendiri kalau ini nyata, bukan mimpi.
“Duduk, Regan.” Lelaki itu memiliki suara yang berat dan dalam.
Regan duduk, menarik kursi yang ada di dekat pintu. Ruangan ini seperti ruang rapat. Mereka duduk di meja panjang, masing-masing di ujung. Hanya duduk. Tanpa diawali dengan peluk rindu seorang ayah pada anak.
Satu pertanyaan besar, kenapa lelaki ini mengenalinya? Apakah dia melihat Regan yang berdiri di antara kerumunan? Ataukah ....
“Ardi benar, kamu sangat mirip dengan mamamu.” Lelaki itu menautkan kesepuluh jarinya di atas meja. Duduk dengan penuh wibawa. Mencipta jarak yang begitu terasa. Membangun benteng tinggi-tinggi. Ada sekat yang tidak kentara di antara mereka. Belum-belum Regan sudah diberi batasan imajiner.
KAMU SEDANG MEMBACA
J A R A K [2] ✓
Romance#2 Long Way to Home [young adult] Regan masih mencari. Dalam perjalanannya, kali ini dia hanya sendiri. Tanpa Ody yang menemani. Ody akan menunggu, ketika Regan bilang ingin ditunggu. Meski dia tidak lagi bisa menemani. Tapi dia akan menunggu. Kali...