Kiki menatap punggung itu dengan segala kecamuk—ingin marah, kesal dan putus asa. Pokoknya dia sebal. Tapi tidak bisa marah. Membuat hatinya mangkel.
Kalau saja Kiki benar-benar kalap, semalam mereka akan bertengkar ketika Regan tanpa tedeng-aling berkata, “Ki, gue nemu kos di dekat kampus. Gue pindah besok pagi.”
Tentu saja Kiki marah. Regan tidak pernah bilang dia akan pindah. Lagi pula kenapa harus pindah? Mendadak pula. Memangnya kapan Regan mencari kos? Regan ada masalah dengannya? Kiki bersedia minta maaf jika dia ada salah sehingga membuat Regan tidak betah tinggal di rumah ini.
Yang menyebalkan lagi, Regan tidak ingin diajak bicara. Seperti dua penggal kalimat itu sudah final, tidak bisa dibujuk lagi. Membuat Kiki frustrasi semalaman dan tidak bisa tidur.
Sekarang baru pukul lima lebih sepuluh menit. Regan sudah mengepak semua baju-bajunya ke dalam koper besar. Kiki hanya memperhatikan dari tepi kasurnya, tidak berkata apa-apa. Dia tidak ingin membuat ribut pagi-pagi.
Tapi tetap saja, Regan tidak bisa pindah dengan cara seperti ini. Kiki tidak akan keberatan jika jauh-jauh hari Regan mengutarakan niatnya lebih dulu. Bukan mendadak; malamnya bilang, besok paginya langsung pindah. Tidak. Meskipun Regan bilang jauh-jauh hari, Kiki tetap tidak mengizinkan.
“Re, lo tega sama gue.”
Gerakan tangan Regan yang hendak menarik ritsleting terhenti. Namun dia tidak lekas menoleh. Dia tahu, sejak semalam mengatakan kepindahannya, Kiki tentu saja kaget. Regan merasa bersalah, sekaligus tidak bisa memberi alasan apa-apa. Jika dia mengarang alasan, Kiki tahu kalau dirinya tidak pandai berbohong. Atau ketika dia memberi alasan, Kiki akan menuntut alasan yang jujur.
“Gue nyaman di sini, Ki. Gue pindah bukan karena diam-diam nyimpan masalah sama lo. Tapi dari lama gue memang pengin pindah. Nyari yang dekat kampus.”
“Lo kapan nyari kosnya?”
“Kemarin.”
Kiki beralih ke Ody yang menguap dan mengeong di pintu kamar. “Ody lo bawa aja ya? Buat temen lo.”
Regan berdiri setelah memastikan semua barangnya masuk ke dalam koper. Dia memang berencana membawa Ody. Kemarin dia mampir ke pet shop, membeli satu kandang kucing. Dan sepertinya Ody menyukai, karena semalaman kucing itu tak henti mengeliling kandang itu, menyentuh jerujinya berkali-kali lantas tertidur di atasnya. Sekarang baru bangun.
Sebuah klakson terdengar dari depan rumah. Taksi yang dipesan Regan sudah datang. Kiki sigap berdiri, mendahului Regan mengambil Ody di dekat pintu. Lantas memasukkan kucing itu ke dalam kandang. Ketika Regan menarik koper dari kamar, Kiki masih sibuk mengambilkan makanan Ody, membawakan semua makanan kucing itu tanpa tersisa.
“Re, mau ke mana?” Tante Dewi menjatuhkan selang air begitu saja ketika melihat Regan memasukkan koper ke dalam bagasi taksi. Tadi dia juga sempat heran melihat taksi yang berhenti di depan rumah itu. Dia kira Kiki yang pesan.
Setelah menutup pintu bagasi, Regan bergegas menghampiri Tante Dewi. Dia merunduk, merangkum satu tangan renta itu dengan kedua tangannya, lalu mencium punggung tangan itu. “Regan pamit, Tan.”
“Mau ke mana?” Diusapnya kepala Regan dengan lembut.
“Aku pindah kos, Tan.”
“Kenapa?”
Regan tersenyum, tangannya masih ditahan Tante Dewi. Untuk kali ini, dia harus menyebutkan alasan demi menghilangkan kerut ketidakmengertian di wajah Tante Dewi. “Aku pindah kerja, Tan. Kebetulan dekat dengan kampus. Jadi, agar aku bisa bagi waktu, aku harus nyari kos yang dekat.”
KAMU SEDANG MEMBACA
J A R A K [2] ✓
Romance#2 Long Way to Home [young adult] Regan masih mencari. Dalam perjalanannya, kali ini dia hanya sendiri. Tanpa Ody yang menemani. Ody akan menunggu, ketika Regan bilang ingin ditunggu. Meski dia tidak lagi bisa menemani. Tapi dia akan menunggu. Kali...