23. Tetaplah Cemas

5.6K 865 51
                                    


“Re, Re, Re!!” Sambil menggoyangkan bahu Regan yang masih lelap. Melupakan jika sahabatnya itu baru jatuh tertidur selepas subuh tadi.

“Hmm?” Regan menggeliat, mengucek matanya.

“Lo dapet pembeli nih. Mau pasang harga berapa?”

Regan sontak bangkit kemudian duduk di tepi kasur. Kepalanya berdenyut nyeri. Suara seraknya bertanya.  “Secepat itu, Ki? Lo serius? Siapa yang beli? Temen lo?”

Kiki tampak menimbang sebelum menjawab. “Ada-lah, pokoknya. Lo terima beres aja ya. Biar gue yang urus. Mumpung gue libur.”

“Hari ini?” Regan memijat kepalanya yang terasa pening.

Sambil mengetik sesuatu di ponselnya, Kiki mengangguk. “Makanya, gue tanya, lo mau pasang harga berapa?”

Regan mengusap wajah yang masih kebas. “Terserah, berapa aja bakal gue lepas.”

“Oke. Gue usahakan sesuai dengan yang lo butuh kemarin, bahkan bisa lebih. Itu mobil lo masih kinclong banget. Nggak ada baret.” Dan seperti biasa, Kiki akan melantur tidak jelas. “Gue juga heran. Kenapa lo kalau punya barang awet sih? Nih, contoh paling sederhana. Sandal lo masih bagus. Punya gue udah ganti dua kali. Ini bahkan nyaris putus talinya.”

Regan menatap ke bawah, ke sandal Kiki yang sungguhan nyaris putus talinya. Lalu mendongak. “Penting ya bahas sandal?”

“Bukan sandalnya, tapi konteksnya.” Kiki meralat dengan sebal.

“Lo boleh ambil sandal gue kalau berhasil jualin itu mobil.” Regan berdiri, mendorong minggir Kiki yang menghalangi jalan. Sudah jam berapa sekarang? Dia menoleh ke jam di dinding. Pukul sembilan kurang lima menit. Dia ada kuliah jam sepuluh.

“Gue bukannya pengin sandal lo. Astaga.”

“Terus apa? Gue nggak bisa kasih lo kaki gue.” Regan berpura-pura dungu.

“Permainan otak macam apa ini?!”

Regan tertawa meraih handuk di gantungan.

***

Siangnya, calon pembeli itu datang ke restoran tempat Regan bekerja. Jadi, Kiki tidak berbohong soal pembeli itu? Bahkan Regan masih tidak percaya. Terlebih lagi setelah tahu siapa yang datang.

Tunggu, Kiki berbohong. Dia tadi menawarkan diri untuk mengurus semuanya. Tapi kenapa justru calon pembeli ini datang menemuinya? Beruntung jam makan siang sudah lewat. Jadi restoran tidak terlalu sibuk.

Ody nyengir lebar ketika Regan menatapnya bingung.

“Boleh lihat mobilnya?” Dipta memutus pandangan itu. Tanpa merasa perlu mengenalkan diri. Dia yakin Regan sudah mengenalnya.

Regan yang masih terkejut, segera merogoh kunci di saku celana. Menekan tombol di kunci. Mobil berbunyi bip pelan.

Dipta mengamati sebentar bodi mobil, lalu manggut-manggut. Setelahnya, dia membuka pintu kemudi. Masuk dan mencoba menekan tombol starter.

“Mas boleh test drive dulu.” Regan merunduk.

“Mau ikut, Dy?” Dipta bertanya setelah memakai sabuk pengaman.

Ody menggeleng. “Aku tunggu di sini aja, Mas.”

Dipta tidak bisa lagi memaksa. Dia mulai menginjak gas, mengeluarkan mobil itu dengan mulus dari halaman parkir.

Sementara menunggu, Ody duduk di undakan. Regan menyusul. “Kok nggak bilang-bilang kalau mau ke sini?”

“Biar kejutan.” Ody nyengir. “Mas Dipta ngajaknya mendadak.”

J A R A K [2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang