7

97 14 0
                                    

-2016

Jiyeon menginjakkan kakinya di pelataran rumah neneknya. Rumah dimana ia tumbuh besar.

"Ah, cucuku sudah datang. " ucap Kakek Jiyeon.

Jiyeon tersenyum kecil hampir tidak terlihat. Jika saja disana tidak ada dua orang yang paling di benci Jiyeon. Jiyeon pasti akan tersenyum sangat lebar.

Jiyeon memberi hormat pada kakeknya lalu menghampiri kedua orang yang paling Jiyeon benci.

"Anyeonghaseyo." sapa Jiyeon lalu membungkukkan badan.

"Harabojie, boleh aku langsung masuk? Aku sangat merindukan nenekku." ucap Jiyeon.

"Ah, ne. Masuklah. " ucap Kakek Jiyeon.

Tanpa basa-basi Jiyeon pergi meninggalkan mereka semua. Jiyeon berjalan menuju dapur.

Ruangan dirumah itu masih terlihat sepi bahkan bunyi pantulan suara hak sepatu Jiyeon yang beradu dengan lantai terdengar.

Tok tok tok

Jiyeon berhenti saat melihat seseorang bertubuh tegap dan tinggi berdiri di sebelah neneknha. Menggunakan baju berbahan wol yang diyakini untuk menghangatkan badannya.

Jiyeon mematung untuk sesaat, tapi karena telah lama melakoni sebuah drama dalam hidupnya, Jiyeon cukup pintar untuk memegang kendali tubuhnya.

Jiyeon menaruh tas jinjing miliknya di atas meja lalu melepaskan blazer yang di gunakannya. Setelahnya Jiyeon menghampiri neneknya.

"Halmonie~" panggil Jiyeon sambil memeluk neneknya dari belakang.

"Kau sudah datang? " tannya neneknya setelah memutar tubuhnya menghadap cucunya itu.

Kehadiran Jiyeon yang tiba-tiba menarik eksistensi seseorang di sebelah neneknya.

"Ada acara apa sebenarnya, Halmonie? Kenapa banyak orang tak ku kenal di depan? " tanya Jiyeon berusaha mengabaikan eksistensi pria disamping neneknya.

"Yakin tidak mengenal mereka? Lagi pula tidak terlalu banyak. Sebenarnya ini bukan acara kami tapi acara Appa mu dan Eommamu." ucap nenek Jiyeon.

"Hai, Yeonie! Masih mengingatku?" tanya pria disamping Jiyeon.

"Ah, memangnya kita pernah bertemu? Mian aku kehilangan sedikit ingatanku ketika aku marah, dan tadi aku marah. Jadi mungkin aku tidak mengingatmu. Halmonie siapa dia? " tanya Jiyeon kepada neneknya.

Pria itu tertawa keras, mendengar alasan Jiyeon. Sedangkan nenek Jiyeon ingin menjelaskan pada gadis.

"Dia-"

"Biar aku saja Halmonie." ucap pria tersebut.

Nenek Jiyeon mengangguk.

"Halmonie tinggal keluar dulu, kalian mengobrol lah." ucap Nenek Jiyeon.

Seperginya nenek Jiyeon, aura kecanggungan meliputi mereka.

"Saya akan naik ke atas jika tidak ada yang ingin di bicarakan." ucap Jiyeon lalu berbalik ingin meninggalkan pria tersebut namun tangannya di tahan.

"Kau benar-benar tidak mengingatku? " tanya Pria tersebut.

"Tidak."

"Jinja? Aku Kyungpoo. Sahabat kecilmu. Benar-benar tak mengingatku? " tanya Kyungpoo.

"Ah, Kyungpoo sahabat kecilku? " tanya Jiyeon.

"Ne, kau mengingatnya? " tanya Kyungpoo.

"Hm, dimana dia? Aku merindukannya." ucap Jiyeon.

"Ya! Aku disini! Kau bu-"

"Anniya, saya tidak buta. Saya benar-benar menanyakannya. Karena yang di depan saya sekarang bukan Kyungpoo sahabat saya. Tapi seorang penghianat."ucap Jiyeon.

"Kau belum memafkanku tentang hal itu? Aku benar-benar menyesal." ucap Kyungpoo.

"Tidak akan. Dan berhenti mengangguku dengan pesan-pesanmu itu. Lagi pula kau mencuri nomorku darimana? " ucal Jiyeon lalu meninggalkan Kyungpoo di dapur.

Jiyeon mengambil tas dan blazernya yang berada di atas meja lalu berjalan keluar menuju tangga utama.

Tepat saat dia melewati kamar mandi yang berada di bawah. Dia berpapasan dengan Jiyong.

"Kau?! Kenapa ada disini?! " ucap Jiyeon terkejut.

"Memangnya kenapa? Lagi pula ini bukan rumah mu. Siapa laki-laki itu? Dia manatapmu sejak tadi. " ucap Jiyong.

"Tak usah di hiraukan." ucap Jiyeon.

"Arraseo." ucap Jiyong lalu merangkul Jiyeon.

Jiyeon menatap tajam Jiyong lalu melepaskan rangkulan pria itu dengan kasar dan pergi menuju lantai atas.

Jiyeon masuk kedalam kamarnya dulu, lalu memerhatikan sekitarnya. Tidak ada yang berubah dalam kamar itu. Hanya saja terlihat lebih rapi dan bersih.

Jiyeon mengelilingi kamarnya, yang bisa di bilang luas. Menyentuh setiap barang yang ia tinggalkan disana.

Hingga gadis tersebut berhenti pada sebuah buku cukup tebal. Buku paling berharga baginya, setidaknya saat ia dulu mempercayai seseorang.

Jiyeon mengambil buku tersebut, ingin membukanya tapi perasaan ragu menyelimutinya. Iya merasakan rasa rindu yang kembali setalah ia berhasil membunuh rasa itu bertahun-tahun.

Jiyeon masih ragu untuk membukannya. Baginya membukannya sama saja memberikan luka baru, sebuah goresan baru di atas goresan lama yang belum sembuh.

Jiyeon menatap buku tersebut, kakinya lemas tak dapat menahan bobot tubuhnya lagi. Ia jatuh terduduk. Hatinya bahkan sama tak kuatnya dengan kakinya.

Jiyeon menangis, ia benci saat-saat seperti ini. Bahkan ia tak mampu membuka buku itu. Jiyeon benci dirinya yang lemah.

Tanpa Jiyeon sadari, sejak saat dia memasuk kamarnya. Menyentuh setiap benda yang ia lihat. Lalu berhenti pada buku tersebut. Seorang pria terus memperhatikannya.

"Dia bersikap dingin dan kasar untuk menutupi sisi terlemahnya. " gumam pria tersebut.

Pria itu masuk kedalam kamar setelah menutup pintunya pelan lalu menghampiri gadis yang tengah tertunduk menangis tersebut.

Pria itu adalah Jiyong, laki-laki itu mengikuti Jiyeon bahkan sejak gadis itu meninggalkan gedung agensi mereka.

Jiyeon menangis tertahan, ia mengigit bibirnya dengan keras hingga tanpa sadar melukai bibirnya sendiri.

Sedangkan Jiyong yang mulai jengah dengan gadis yang menyiksa dirinya sendiri tersebut mulai menarik gadis itu masuk kedalam pelukannya.

Dan tanpa di duga gadis itu membalas pelukan Jiyong, menenggelamkan wajahnya di dada Jiyong. Meredam suara tangisannya di tubuh Jiyong.

"Menangislah dengan keras. Luapkan semuanya. Oppa disini akan melindungimu, dan mendengar tangisanmu. " ucap Jiyong sambil mengelus kepala gadis itu.

Sama seperti siang tadi, Jiyeon tidak terlalu lama menangis. Gadis itu menghentikan tangisannya saat ia rasa sudah cukup untuk menangis.

"Jangan sakiti bibirmu ketika menangis. Bibirmu terluka cukup parah. Datang padaku jika ingin menangis aku akan meredam suara tangisanmu. Jadi jangan sakiti bibirmu lagi, arraseo? " Ucap Jiyong.

Jiyeon tidak menjawabnya. Ia malu karena telah menangis dua kali di depan Jiyong. Jiyong sudah melihat terlalu banyak.

Terlalu banyak hingga sulit untuk Jiyeon mendorongnya keluar dari kehidupannya.

______________________________________

Hope(less) K. J. YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang