Try To Dodge

267 23 0
                                    

"Drap..drap..drap" langkah yang ku percepat saat melihat sesosok dia yang ingin ku hindari saat ini.
"Tha..." ucap lelaki itu yang kini sedang menyusulku dari belakang.
Hap! Dia dapatkan pergelangan tanganku dan menarikku sehingga posisi kami saling berhadapan.
"Kamu kenapa?"
"Pagi"
"Aku nanya.. kamu kenapa?" Masih dengan suara lembut dan rasa sabarnya.
"Kamu kenapa gak marah?" jawabku yang berusaha mengalihkan topik.
"Tha.. kamu kenapa?"
"Kamu bisa gak sih jawab pertanyaan aku dulu?!" Bentakku.
"Kamu kenapa? Kenapa jadi suka marah gak jelas gini?" Tak ada nada bicara yang naik 0,5 oktaf pun.

"Maaf, aku cuma bisa bilang maaf" ucapku dari hati yang paling dalam.

"Kita usai disini ya?" Tanyaku lembut pada lelaki itu, Levin.
"Nggak, aku nggak mau" jawabnya dengan tatapan mendalam itu.
"Kenapa? Aku udah muak sama kamu"
"Jangan bohong! Aku tau, kamu gini karna kamu jaga perasaan temen kamu sendiri kan? Nadia? Pasti Nadia!" Suara yang sedari tadi lembut kini sudah naik beberapa oktaf.
"Kamu diapain?" Tanya-nya kembali yang sudah menurunkan nada bicaranya.
Aku hanya bungkam dengan mata yang berkaca-kaca, dan tak kuasa menahan tangis yang akan meledak, dengan wajah merah itu.
"Bisa kita nggak ngomong disini?" Ajakku yang berusaha menahan air mata yang telah bergelinang sejak tadi.
"Mau dimana?"
"Kita masuk kelas dulu, terus belajar, nanti pas istirahat aja di taman belakang"
"Aku duluan" setelah itu tanpa menunggu balasan Levin, aku langsung lari ke toilet dan membasuh wajah yang sudah seperti warna tomat ini.

• • •

"Kenapa sih?!!!!!" Teriakku didalam toilet yang sepi ini tiada penghuni hidup.
"Disaat gue udah dapet kebahagiaan aja selalu ada penghalang! Salah gue apaaa huaaaaaaa" teriakku diiringi tangisan yang pecah.
"Hikss...hikss" kini tangisanku mulai mereda.

"Klek.." pintu masuk tanda ada orang lain yang memasuki toilet.
"Etdahh, lu ngapain nangis disini?" datanglah Tifanny yang sedang terburu-buru masuk toilet.
"Lo kenapa?" Kini ia menghampiriku dan merangkul ku.
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya, dia maklum dan membantuku membersihkan air mata di pipiku.
"Oke lo pasti sekarang gabisa cerita, cuci muka lo ya, habis itu pake bedak gue, biar lebam-lebam bekas nangisnya hilang"

Tifanny memang teman yang baik.
Usai memakai bedak aku menarik nafas dan memasuki kelas dengan wajah yang ceria tanpa ada masalah.

"Lama banget, padahal tadi kamu duluan, habis dari mana ay?" tanya Levin saat aku sudah menduduki kursi kelas dimana yang berada di samping bangku Levin.
"Dari toilet"
"Oh gitu, kamu udah sarapan?"
"Udah"
"Udah belajar? Sekarang ulangan PKN loh"
"Udah"
"Yaudah deh, kamu.."
"Stop asking me" potongku dan langsung tertidur ditutupi jaket pada bagian kepala.

Levin terdiam.

"Lo kenapa sama Aletha?" Tanya Trisha yang mengira aku tidak mendengarnya.
"Gue gatau nih, kemarin gue kenain dia jebakan April mop, terus dia marah, sebelum itu siangnya dia juga agak aneh, gue gatau dia kenapa.. kalau emang karna jebakan itu gue ga mikir dia marahnya bakal sejauh ini" jelas Levin panjang lebar dengan suara yang agak menyesal.
"Gue ga pernah liat Aletha gini.. dia kan pecicilan" cerocos Marsha jujur.

Mereka terus berbincang tentangku, dan aku tetap mendekap dibawah jaket sambil menanti kehadiran pak Narno.

Setelah mendapat pelajaran PKN dari pak Narno salah satu guru favoritku yang diisi dengan ulangan, bel pun berbunyi tanda istirahat dan tanda aku harus mengutarakan segala yang ku pendam pada Levin di taman belakang sekolah.

• • •

"Jadi kamu kenapa?" buka Levin ditengah keheningan.
"Gue mau kita putus, gue gabisa lagi" ucapku dengan cepat dan nafas yang terengah-engah.
"Aku gak mau" balas Levin tegas.
"Nadia? cinta gabisa di paksa, mau kamu ninggalin aku, dan relakan aku sama Nadia, aku tetap ga bakal pernah mau sama Nadia" Sambung Levin yang mulai menurunkan nada bicaranya.
"Lo gatau?! Gimana sa.." bentakku pada Levin yang segera dipotong olehnya.
"Gimana aku mau tau, kalau kamu diem dan marah gak jelas giniii Aletha!" Bentak Levin yang membuatku terkejut.
"Kamu jangan kayak gini, biar aku yang ngomong sama Nadia, jangan takut, ada aku" bujuk Levin yang membuatku langsung memeluknya dan menangis sekuat tenagaku hingga tak ada suara yang keluar dalam tangisan itu.

Rindu (Proses Merapikan Cerita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang