Gintoki membakar rokoknya dan meletakkan kedua tangannya di atas speedometer motornya. Dia masih menggunakan helm, dan kedua tangannya sedang mengutak-atik handphone-nya.
"Mas," sapa seorang wanita. "Ke Kabukichou berapa?"
Gintoki menatap wanita yang menyapanya. "Maaf, Nona. Aku terlalu tampan untuk jadi sopir ojek."
Wanita itu pun pergi. Gintoki menarik asap rokok hingga ke tenggorokannya dan mengembuskannya.
"Gin-san," Kagura muncul dari belakang Gintoki. "Ayo."
Gintoki memasukkan handphone-nya ke saku celananya dan menyalakan motornya. Kagura duduk di belakang GIntoki dan keduanya pergi dari kediaman Okita.
"Toshi dan Mitsuba di rumah?" tanya Gintoki.
"Hijikata-san belum pulang. Anego di rumah, tadi dia sedang masak," jawab Kagura.
"Kau mau makan?"
"Mau."
"Mau makan apa?"
"Yang mahal."
"Oke, kita makan ramen."
Gintoki berhenti di sebuah warung ramen pinggir jalan. Dia dan Kagura duduk di kursi persis di depan pria yang membuat ramen.
"Pesan tiga porsi shoyu ramen. Satunya pedas sekali," kata Gintoki sambil mengembuskan asap dari rokoknya.
Gintoki melirik Kagura. "Oi, bocah. Kenapa wajahmu seperti itu?"
Kagura menatap Gintoki. "Kenapa memangnya?"
"Jelek," jawab Gintoki. "Wajahmu terlihat seperti orang yang terlilit utang."
Kagura tidak menjawab. Matanya kini memperhatikan pria yang sedang membuat ramen.
Gintoki ikut memandangi si pembuat ramen. Tangan kirinya bergerak dan mengusap-usap kepala Kagura. "Kamu lelah, Kagura?"
Kagura menggeleng. "Tidak, Gin-san."
Gintoki mendengus. "Jangan memaksakan diri kalau lelah. Kamu bisa beristirahat di rumah. Bagaimana keadaan Sougo?"
"Masih sama. Hanya saja, dia sekarang mulai berlatih diam-diam."
"Oh, dia sanggup untuk latihan?"
"Hanya setengah jam setiap hari. Setelahnya, dia akan merasa sangat lelah dan tidur hingga sore."
"Bagus."
"Kenapa bagus?"
"Dia ingin mempertahankan otot-ototnya agar terlihat tetap menarik."
Kagura tidak menjawab.
"Aku tidak suka melihatmu tertekan, Kagura," kata Gintoki. "Jika ada yang ingin kau bicarakan, katakan saja. Aku mendengarkan."
Mata Kagura menatap ke bawah. "Aku hanya merasa sakit hati, Gin-san."
"Karena melihat keadaan Sougo?" dan Kagura mengangguk.
Gintoki mengisap rokoknya. "Terluka sudah menjadi risikonya sebagai Shinsengumi, Kagura. Dan sudah menjadi risikomu untuk menerima kenyataan itu."
Tangan Kagura mengepal. "Entah kenapa aku tidak bisa terima itu, Gin-san."
Gintoki mendengus. "Ini yang namanya efek dari sebuah peperangan Kagura. Mereka yang bertempur di medan perang mengabdikan diri mereka untuk melindungi sesuatu. Mereka tidak akan memikirkan hal lain selain itu, mereka menghiraukan kehidupan dan kematian. Itu wajar, karena pola pikirmu sudah tidak seperti manusia normal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Life After War 2
Fiksi PenggemarKomitmen Sougo kepada Shinsengumi tak bisa diganggu gugat. Sougo menerima untuk ditugaskan di sebuah pulau di luar kota. Konsekuensinya, dia harus meninggalkan Kagura.