Chapter 19

602 46 7
                                    


"Pantatku sakit," kata Gintoki sambil tiduran. Tangan kanannya menopang kepalanya, dan tangan kirinya memegang kiseru. "Aku rasa aku butuh obat pencahar."

"Baka. Aku kan sudah bilang daritadi," kata Tsuki sambil melipat pakaian.

Gintoki menatap Tsuki. "Oi, Honey."

Tsuki menatap Gintoki. Keduanya bertatapan cukup lama.

"Tidak jadi," Gintoki memalingkan wajahnya dan mengisap kiseru.

"Apa?" tanya Tsuki.

Gintoki menyemburkan asap kiseru ke udara. "Terima kasih, ya."

Dahi Tsuki mengernyit. "Untuk apa?"

"Untuk memperbolehkan aku terluka sekali demi menyelamatkan orang-orang yang aku kasihi," ucap Gintoki.

Tsuki tersenyum tipis. "Kembali kasih, sayang."

Gintoki menatap keluar jendela. Angin menerpa wajahnya. "Aku khawatir pada Kagura."

Tsuki memasukkan beberapa pakaian ke dalam laci lemari di sebelahnya. "Aku juga."

Gintoki mendesah. "Dia belum bisa mengatur pola pikirnya. Dia terlalu nyaman hidup bahagia dengan Sougo."

"Itu hal yang biasa, Gintoki. Tapi, aku akui itu mengkhawatirkan."

"Kagura pasti sudah bicara padamu soal ketakutannya. Dia takut kehilangan Sougo."

Tsuki menghela napas panjang. "Hatinya hancur sekali, Gintoki. Dia pikir, dia tak akan lagi menghadapi peperangan. Dia mengubur keberaniannya dan membiarkan ketakutannya akan kehilangan memeluknya."

Gintoki mendengus. "AKu khawatir Kagura akan kehilangan rasa percaya dirinya."

"Aku juga takut Kagura kehilangan kepercayaan pada orang-orang terdekatnya."

Gintoki dan Tsuki sama-sama terdiam. Gintoki menatap Tsuki.

"Sini," Gintoki bangun melebarkan kedua kakinya.

Tsuki menghampiri Gintoki dan bersandar pada dadanya. Gintoki pun mencium pipi Tsuki dan memeluknya. Keduanya menatap keluar jendela, dan angin menerpa wajah mereka.

"Jika aku boleh jujur," Tsuki mengusap-usap lengan Gintoki dengan tangannya. "Aku khawatir sekali ketika Sasaki bilang kau terluka."

"Aku tahu itu," Gintoki menyandarkan wajahnya pada sisi kanan kepala Tsuki.

"Apakah kita akan menghadapi peperangan lagi, Gintoki?"

Gintoki terdiam. Namun, pelukannya pada Tsuki semakin erat.

"Pasti. Ada banyak peperangan yang menunggu kita," jawabnya.

Tsuki terdiam. Wajahnya terlihat khawatir.

Gintoki menutup kedua matanya. "Ingat apa yang aku bilang padamu sejak awal."

Gintoki kembali membuka matanya. "Bersiaplah menghadapi kehilangan. Karena rasa itu akan terus menghantui kita sampai mati."

Tsuki memeluk lengan Gintoki. Entah kenapa, Tsuki ingin terus memiliki Gintoki sampai maut memisahkan keduanya.

"Tsuki," kata Gintoki. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

Jantung Tsuki berdegup kencang.

"Izinkan aku untuk pergi ke kamar mandi," kata Gintoki. "Perutku sakit lagi."

***

Hijikata mengembuskan asap rokoknya seraya memperhatikan laporan yang ia pegang.

Hijikata sedang berada di rumah dan menyelesaikan laporan-laporannya. Mitsuba berada di kamar dan sedang tidur siang.

"Kenapa revisinya banyak sekali..." Hijikata menggerutu. "Sasaki ini bodoh atau apa?"

"Hijikata-san," Sougo muncul dari balik pintu. "Aku ingin bicara."

Hijikata menatap Sougo. Entah kenapa, jantungnya berdegup kencang. Dia berdiri, hendak membantu Sougo berjalan.

"Jangan," kata Sougo. "Duduklah."

Hijikata membatalkan niatnya untuk membantu Sougo. Sougo menutup pintu dan berjalan ke depan Hijikata. Dia pun duduk di depan Hijikata.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Sougo?" tanya Hijikata sambil mengisap rokoknya.

Sougo tidak menjawab. Dia hanya memandangi tatami dengan tatapan kosong.

"Oi, Sougo," Hijikata memanggil Sougo. "Apa yang..."

Sougo merendahkan tubuhnya dan bersujud di depan Hijikata. Mata Hijikata melotot.

"Aku bicara padamu sebagai Shinsengumi Taichou," ucap Sougo dengan dahi menyentuh tatami. "Fukucho, aku minta izin padamu untuk mengundurkan diri dari Shinsengumi."

***

Mata Hijikata melotot memandang Sougo. Mulutnya menganga, lengkap dengan sebatang rokok yang menempel di bibirnya.

"A-apa maksudmu?" Hijikata terbata-bata. "Kau mau mengundurkan diri?"

"Tak ada alasan lain selain absennya aku dari Shinsengumi selama satu bulan ini," jawab Sougo. "Aku merasa tak pantas sebagai seorang Taichou. Seharusnya, saat ini aku sedang bertugas."

"Bagero!" kata Hijikata. "Kau memang diliburkan dan diminta untuk beristirahat di rumah sampai kesehatanmu pulih. Kami tidak bermasalah dengan ketidakhadiranmu. Lagipula, aku menggantikan tugasmu untuk sementara waktu dan Saitou membantuku."

"Karena itulah aku ingin mengundurkan diri," ucap Sougo. "Karena kau menggantikanku dan kau tidak pantas untuk menggantikanku."

"Heh, temmera!" nada Hijikata meninggi. "Ada apa denganmu!?"

Sougo menarik tubuhnya ke belakang dan menatap Hijikata. "Aku hanya ingin wanita yang aku cintai bahagia."

Hijikata tak menjawab. Kalimat itu adalah kalimat yang ia lontarkan saat ia menghajar Kuraba Touma, mantan tunangan Mitsuba yang hanya memanfaatkan Mitsuba untuk melancarkan aski perdangan senjata ilegal.

"Aku terlalu banyak membunuh orang. Dan aku tidak ingin orang yang aku cintai terbunuh karena aku. Aku tidak membunuh orang itu pelan-pelan karena sifatku dan keadaanku. Aku pikir, sudah cukup bagiku untuk melakukan itu semua. Aku ingin hidup normal layaknya orang-orang yang dilindungi oleh Shinsengumi. Aku ingin menjadi mereka."

"Menjadi bagian dari Shinsengumi adalah mimpiku. Aku tak tahu harus lari kemana jika tidak bersama Shinsengumi. Kini aku tahu harus berjalan ke arah mana. Kagura."

"H-hei, Sougo..." Hijikata masih terbata.

"Aku ingin berumah tangga dengannya dalam keadaan damai. Aku tidak ingin membuatnya tersiksa karena diriku sendiri. Aku tidak ingin membuatnya ketakutan. Aku tak ingin membuatnya khawatir. Maka dari itu..."

Setetes air terjatuh ke atas tangan Sougo yang mengepal di atas pahanya. Hijikata melihatnya, dan matanya kembali menatap Sougo.

"Aku ingin bahagia, Hijikata," kata Sougo. Air matanya menetes. "Aku ingin hidup bahagia bersama orang yang aku cintai dengan meninggalkan mimpiku, Hijikata."

Life After War 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang