4 - A COFFEE BAR

3.8K 302 5
                                    

Gak lama dari kepergian Vano dan Jerry dari warung nasi milik Ibunya itu, Jani segera menaruh serbet di dekat etalase lalu dibukanya laci tempat uang pembayaran makan dari para pelanggan itu berkumpul.

"Buat apa Jan?" Tanya Bu Leha, sang ibu Jani ketika ia mengambil selembar uang lima puluh ribu dari dalam laci.

"Kan hari ini Jani belum dapat jatah uang jajan Mak!" Jani menyeringai menatap ibunya dan segera berlalu meninggalkan sang ibu yang hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Jani.

"terus mau kemana? Di sini gak ada yang jaga, Ibu mau mandi dulu!!" Teriak Bu Leha.

Jani menengok ke arah Ibunya lalu ikut berteriak "Masih ada si Abdul dan Toriq Bu, Jani ada perlu..."

Bu Leha melihat ke arah Abdul. Adik Jani yang saat ini kelas 2 SMA sedang duduk di pojokan sana bermain game di ponselnya. Sepulang sekolah Abdul biasa membantu di warung. Lalu kepalanya berputar mencari sosok Toriq. Seorang anak tetangga berusia seumuran Jani yang membantu warungnya dari jam satu siang hingga tutup nanti jam 9 malam. Gak ditemukan sosok Toriq di dalam warung itu. Rupanya, Toriq sedang merokok di luar karena sore hari itu warung sedang dalam keadaan sepi.

Sementara itu, Jani berjalan menuju sebuah mini market yang terletak beberapa blok dari warung nasi. Dibelinya tiga botol minuman teh dingin dengan tiga makanan ringan berupa keripik kentang dan satu buah permen lolipop rasa stroberi yang langsung dilahapnya. Setelah membayarnya, Jani kembali ke arah dia datang sebelumnya. Namun bukan untuk kembali ke warung, melainkan segera menaiki tangga sebuah kost-kostan yang berada persis di sebelah warungnya sambil menenteng kresek khas mini market itu dan memainkan gagang lolipop yang sedang asik diemutnya.

Di lantai dua kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar teman terdekatnya, Vano. Pintu itu sedikit terbuka.

Satu langkah,

Dua langkah,

Dan di langkah ke tiga...

"guys...." Jani langsung membuka pintu itu lebar-lebar tanpa mengetuknya terlebih dahulu karena sudah menjadi kebiasaannya.

Seketika Jani terdiam. Mulutnya menganga bak melihat sesosok hantu. Sayangnya bukan itu yang ia lihat. Tetapi dua sosok pria dewasa yang sedang dalam posisi kurang begitu wajar untuk ukuran dua orang pria normal pada umumnya.

Di atas kasur itu, Jerry, teman yang baru ia kenal beberapa menit yang lalu sedang menindih dan memeluk erat tubuh Vano yang bertelanjang dada.

"ka..li..aan..." lirih Jani. Matanya belum berkedip. Sementara kresek yang ditentengnya entah sejak kapan jatuh ke lantai.

Sontak, dua pria di hadapannya terdiam. Lalu dengan perlahan menengok ke arah sumber suara itu yang tak lain adalah suara Jani.

"JANI??" teriak mereka berdua secara berbarengan.

"sejak ka...paa..n kalian...??" Jani masih melongo.

Jerry dan Vano? Seketika saling bertatapan.

"WHOAAAAA!" mereka berdua kompak berteriak sambil lompat satu sama lain dari atas kasur.

Jerry menggaruk-garukan badannya yang tiba-tiba terasa gatal bercampur geli. Pun dengan Vano yang melakukan hal serupa sambil buru-buru meraih kaus kotor yang tergeletak di samping kasurnya.

Jani masih diam membisu. Gak ada gerak sama sekali selain matanya yang mulai berkedip sesekali. Vano langsung mendekatinya. "semua yang lo lihat gak seperti yang lo pikirin!" teriak Vano.

Gak ada jawaban yang diberikan Jani.

"bener! Kita gak ngapa-ngapain, SUMPAH!" sambung Jerry yang ikut mendekati Jani.

Love without DegreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang