31 - KERINDUAN YANG MENDALAM

1.7K 187 11
                                    

Rumah kontrakan mungil nan bersih itu terlihat gelap di mata Dheo yang mulai berkunang-kunang pandangannya. Di tengah malam itu ia masih di depan layar komputer mempersiapkan persyaratan pengajuan beasiswa S3-nya di Taiwan. Setelah ada tiga univeritas yang membuatnya dilema dalam empat hari terakhir ini. Ia pada akhirnya memutuskan untuk mengabaikan dua universitas di Singapura dan Inggris. Belum ada tujuan ke depannya bahkan alasan paling logis sehingga ia memilih Taiwan. Namun hatinya seperti dituntun untuk menunjuk universitas tertua di negeri yang mendapat julukan pulau Farmosa atau pulau yang indah itu.

Vano berkali-kali megingatkannya untuk beristirahat. Terkadang ia menggodanya dengan berdiri di samping Dheo sambil hanya mengenakan celana dalam saja. Namun Dheo cukup menjawabnya dengan senyuman. Seorang Dheo tidak akan bisa terganggu jika sudah fokus mengerjakan sesuatu. Vano mengenakan pakaiannya lagi.

Hingga menjelang jam dua pagi, terdengar rintihan samar-samar di telinga Dheo yang hampir tertidur di meja kerjanya. Dheo terbangun ketika menyadari layar komputer yang sudah mati dan jam waker di meja itu hampir menunjuk tepat di angka dua. Lalu kembali memastikan jika suara yang ia dengar itu bukanlah berasal dari alam mimpi.

Menyadari Vano tak ada di dalam kamar, lantas Dheo segera keluar. Didapatinya Vano yang sedang memegangi kepalanya di atas karpet depan televisi. Dheo panik dan segera meraih tubuh Vano yang sudah mulai terkulai. Bahkan televisi yang nyaris tak bersuaraa itu gak diliriknya sama sekali. Ada bantal dan selimut di atas karpet itu yang menandakan jika Vano memang hendak tidur di luar kamar setelah menggoda Dheo dua jam yang lalu itu.

Setelah Vano tak lagi memegang kepalanya, Dheo membopong Vano ke dalam kamar dan langsung menidurkannya di kasur. Ia sudah hafal betul dengan kejadian seperti ini. Dan rasa khawatir semakin menggelayutinya. Kenapa Vano masih sakit-sakit seperti ini? Padahal minggu kemarin ia baru saja konsultasi dengan Yesa dan terlihat berjalan baik.

"Vano harus aku bawa ke dokter" gumam Dheo sembari menutup tubuh Vano dengan selimut. Beberapa menit setelah itu, Ia pun mematikan lampu kamar dan tidur di sebelah Vano sambil memeluknya.

Sore hari, ketika gerimis tiba-tiba saja turun tanpa terduga, kerinduan pada sesuatu yang mendalam dengan hati yang mengering, kesunyian datang menyusupi. Dheo memandangi Vano yang sedang menatap ke arah luar dengan mata yang cukup sulit ia definisikan. Antara ngantuk atau sedang memikirkan sesuatu. Lalu masih dengan pakaian mengajarnya, ia memutar lagu Chrisye dari album Dekade melalui tape jadul yang masih ia simpan di rumahnya itu.

"..Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya

Menahan rasa ingin jumpa

Percayalah padaku aku pun rindu kamu

Ku akan pulang melepas semua kerinduan yang mendalam"

Vano berbalik. Menatap Dheo yang sedang melempar senyum padanya. "Ada angin apa kamu memutar lagu? Dan sebentar..." Vano beranjak dari duduknya. "Kayaknya aku kenal dengan suara dan lagu ini. Crisye?"

Dheo menghampiri. "Yaa... Biar rumah ini tak terlalu sepi"

"Tapi kenapa harus lagu jadul. Crisye lagi?"

Dheo semakin dekat menghampiri Vano. "Aku suka lagu-lagu beliau" kemudian meraih kedua tangan Vano dan meletakkannya setengah melingkar di perutnya. Sementara satu tangannya itu ia letakkan di pundak Vano. "Dan aku ingin mengajakmu menari" bisik Dheo sembari meraih satu tangan Vano dan mengarahkannya ke samping.

"Haha... kamu ini apa-apaan sih Dhe. Aku gak bisa nari. Dan lagian, geli tahu aku" ujar Vano tanpa melepaskan tangannya itu.

"Ayo lah... mumpug hujan baru turun. Dan aku ingin membuat badanku rileks"

Love without DegreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang